4. Mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian dalam audit laporan keuangan
Tak lama setelah Anies menjabat pada Oktober 2017, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI memberikan Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) tahun 2017. Predikat WTP ini menjadi yang pertama kali Pemprov DKI dapatkan setelah empat tahun absen atas opini tersebut.
Namun, pada tahun 2017 pengelolaan keuangan di Pemprov DKI masih terbagi oleh tiga gubernur, yakni Anies Baswedan, Djarot Syaiful Hidayat, dan Basuki Tjahja Purnama atau Ahok. Pada tahun 2018, saat pengelolaan keuangan sepenuhnya dipegang oleh Anies, BPK RI kembali memberikan Opini WTP terhadap Pemprov DKI.
Meskipun begitu, pada 2018 BPK tetap mencatat beberapa permasalahan yang Pemprov DKI harus selesaikan. Permasalahan itu terkait dengan Sistem Pengendalian Intern (SPI) dan Kepatuhan terhadap Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Wakil Ketua BPK RI Bahrullah Akbar memaparkan pelaksanaan inventarisasi atas aset tetap belum selesai dan masih terdapat kelemahan dalam sistem informasi aset tetap.
Selain itu, terdapat aset fasilitas sosial dan fasilitas umum berupa tanah yang telah diserahkan kepada Pemprov DKI namun masih dimanfaatkan oleh pengembang. Ada pula bangunan fasos dan fasum yang sudah selesai dibangun dan dimanfaatkan oleh pengembang, namun belum diserahkan kepada Pemprov DKI.
5. Membangun sistem transportasi umum yang terintegrasi
Saat pertama kali merealisasikan janji kampanye ini, Anies Baswedan meluncurkan program OK Otrip yang memungkinkan masyarakat menaiki angkutan kota dan bus Transjakarta dengan tarif Rp 5.000 dalam sekali jalan. Masyarakat yang ingin menikmati layanan ini harus membeli kartu khusus.
Saat peluncurannya, Pemprov DKI menggandeng berbagai operator angkot dan menyediakan 483 armada dengan 33 rute. Program ini berada di bawah tanggung jawab PT Transportasi Jakarta (Transjakarta).
Pada Oktober 2018, Anies Baswedan me-rebranding program OK-OTRIP menjadi Jak Lingko. Alasan Anies menggantinya, karena OK-Otrip ia sebut tak memiliki makna dan arti. Sedangkan untuk Jak Lingko, Anies menyebutnya merepresentasikan sistem transportasi massal yang terintegrasi. Makna Lingko, dalam bahasa Manggarai Nusa Tenggara Barat yang memiliki makna tersambungkan.
Sama seperti program OK-Otrip, Jak Lingko berfungsi mengintegrasikan angkutan umum dan masyarakat hanya perlu membayar ongkos Rp5.000 untuk satu kali perjalanan menggunakan angkot dan bus Transjakarta. Ke depannya, sistem Jak Lingko juga akan mengintegrasikan pembayaran LRT, MRT, dan KCI.
6. Memperluas cakupan dan memperbaiki kualitas layanan air bersih
Sejak akhir Oktober 2018, Pemprov DKI tengah berusaha mengambilalih kepemilikan pengelolaan air dari swasta, yakni PT PAM Lyonnaise Jaya dan PT Aetra Air Jakarta. Pengambilalihan melalui restrukturisasi kontrak itu Anies lakukan agar jangkauan air bersih di Jakarta dapat meningkat hingga ke pemukiman kumuh.
Namun setelah 1 tahun berlalu, pengambilalihan pengelolaan air dari swasta itu belum juga terealisasi. Pada Juli 2019, Anies Baswedan mengatakan pembahasan penghentian swastanisasi air mentok di PT PAM Lyonnaise Jaya atau Palyja. Sehingga, pihaknya akan melakukan konsultasi dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan kejaksaan ihwal penghentian swastanisasi air.
"PAM sedang menyiapkan opsi-opsi untuk dibicarakan dengan BPKP dan kejaksaan, bila head of agreement (HoA) dengan Palyja tidak tercapai kesepakatan," ujar Anies di Gedung DPRD, Jakarta Pusat, Senin, 1 Juli 2019.
Sebelum berkonsultasi dengan dua lembaga itu, Anies telah terlebih dahulu berkonsultasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Akan tetapi, meskipun sudah mengadu ke KPK soal usaha penyelesaian swastanisasi air, Anies menjelaskan sampai saat ini Palyja belum memberikan kepastian.
Anies menjelaskan pihaknya saat ini tengah fokus meningkatkan cakupan pelayanan air hingga 82 persen pada 2023. Angka itu tak kunjung dicapai oleh pihak swasta, meskipun swasta sudah 20 tahun mengelola air di Jakarta.