TEMPO.CO, Bogor - Proyek rel ganda kereta api Bogor - Sukabumi berpotensi menyebabkan terputusnya pipa Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Pakuan Kota Bogor. Sekitar 70 persen atau 120 ribu pelanggan terancam kekurangan air bersih.
Direktur Utama PDAM Tirta Pakuan, Deni Surya Sanjaya, mengatakan program strategis nasional tersebut akan memotong pipa induk yang tertanam dari kawasan stasiun Ciomas sampai Dekeng. Pipa tersebut untuk menyuplai air baku ke dua Instalasi Pengolahan Air (IPA) Dekeng dan Cipaku.
Deni menyebut apabila pipa induk itu terpotong, dampaknya 70 persen atau 120 ribu pelanggan termasuk suplai air ke Istana Bogor akan terputus.
"Kami jelas khawatir, karena ini menyangkut pelayanan publik yang harus diperhatikan," terang Deni kepada Tempo di Kantornya, Sukasari, Kota Bogor, Selasa 29 Oktober 2019.
Untuk mengantisipasi hal itu Deni mengatakan langsung menemui Balai Perkeretaapian Jawa Barat beserta Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pembangunan jalur ganda kereta Bogor-Sukabumi. Dalam pertemuan itu dia sampaikan desain pipa oleh pihaknya, begitu pun pihak Balai juga mendesain sendiri namun Deni menyebut kurang cocok karena hanya menggambarkan potongan-potongan per STA 200 meter.
"Akhirnya saya menginisiasi untuk melakukan survei ke lokasi dan dijadwalkan hari Kamis lusa," katanya.
Deni menjelaskan menginisiasi survei langsung ke lokasi untuk menunjukkan pipa mana yang digeser atau misalnya diperkuat kontruksinya dengan catatan proyek double track terbangun. Untuk biaya relokasi pipa, Deni menyebut dibutuhkan anggaran sekitar Rp 90 miliar.
"Karena itu nanti dilihat di lapangan mana yang digeser atau dipertahankan," tandasnya.
Wali Kota Bogor Bima Arya menyebut terjadi miskomunikasi dan miskoordinasi dalam proyek rel ganda tersebut antara kementerian dengan pihaknya. Pemerintah Bogor, menurut Bima, tak pernah diajak berbicara oleh kementrian terkait soal proyek ini.
Selain masalah pipa PDAM, Bima menyatakan akan ada banyak masyarakat tergusur dari lahan milik PT KAI yang selama ini mereka tempati. Bima mengakui meski istilahnya warganya meninggali tanah PJKA secara ilegal, tapi secara de facto mereka menguasai lahan itu dengan menempatinya puluhan tahun.
"Sampai nenek mereka tuh lahir disana dan nikah disana," ucap Bima saat ditemui di Balai Kota Bogor, Senin 28 Oktober 2019.
Bima menyebut padahal pemerintah pusat atau Kementerian terkait bisa bertanya dan Pemrintah Kota Bogor juga pasti menjawab, namun meski begitu Bima mengaku memperjuangkan hak warganya dengan meminta langsung kepada direktur PJKA untuk menunda waktu pembongkaran sebelum warganya memiliki tempat tinggal baru.
"Kan harusnya nanya Pemkot Bogor punya gak lahannya, kalau ada PUPR bantu pembangunan rumahnya. Kalau gak ada ya duduk bareng, gimana mengatasinya, gitu harusnya," pungkas Bima.