Kampung Kota Terancam Wabah
Direktur Rujak Centre for Urban Studies, Elisa Sutanudjaja, mengatakan kampung kota di DKI, menjadi wilayah yang terancam penularan virus corona. Dari data yang dipublikasi Pemerintah Provinsi DKI, banyak kampung kota yang awalnya masih hijau menjadi zona merah penularan Covid-19.
"Kampung mempunyai kelemahan kepadatan penduduk dan keterbatasan infrastrukturnya," kata Elisa. Elisa mencatat penularan virus terus menjalar ke permukiman RW yang dianggap kumuh. Mengacu dalam Peraturan Gubernur 90/2018 tentang Peningkatan Kualitas Permukiman Dalam Rangka Penataan Kawasan Permukiman Terpadu dengan penambahan Keputusan Gubernur nomor 878 tahun 2018, jumlah RW kumuh di DKI mencapai 475.
Dari catatan Rujak, sejak 19 Maret hingga 16 April jumlah RW kumuh yang menjadi zona merah terus meluas. Awalnya, kata dia, zona merah Covid-19 di kampung kota atau RW kumuh hanya tersebar di Petamburan, Penjaringan, Pademangan Barat, Sunter Agung dan Kebon Kacang. "Pada 27 April lalu tersebar hampir di seluruh wilayah," ucapnya.
Gubernur DKI Anies Baswedan sempat mengatakan bahwa puluhan RW masuk dalam kawasan pengendalian ketat Covid-19. Menurut Anies, penyebaran corona di tingkat RW turun naik. RW yang masuk zona merah pernah di angka 68 RW, lalu turun menjadi 62 dan naik kembali beberapa hari kemudian menjadi 66 saat DKI memasuki masa transisi.
"Kami menemukan bahwa di Jakarta ini ada 66 RW dengan laju incident rate yang masih tetap harus mendapat perhatian khusus," kata Anies Baswedan saat konferensi pers online, Kamis, 4 Juni 2020.
Menurut Elisa, RW kumuh maupun yang telah masuk zona merah harus beradaptasi hidup di tengah wabah sampai ditemukan vaksin. Warga di kampung kota itu, tetap harus melaksanakan protokol kesehatan seperti menjaga jarak fisik, mencuci tangan dan menggunakan masker. "Kami punya konsep hindari LDR. Yaitu daerah yang lembab, dekat dan ramai," ujarnya.
Menurut dia lagi, tidak mudah menerapkan aturan jaga jarak di kawasan kumuh. Sebab, berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2016, sebanyak 44 persen warga DKI tinggal di bangunan yang luasnya kurang dari 10 meter per orang. Artinya dalam satu kamar berukuran 24 meter diisi oleh enam orang. "Bagaimana melakukan social distancing dan physical distancing atau new normal dengan keterbatasan ini."
Belum lagi, kawasan kumuh dihadapkan dengan keterbatasan infrastruktur dasar seperti sanitasi, ketersediaan air dan saluran drainase. "Bagaimana menyarankan seluruh warga kampung untuk rajin mencuci tangan apabila wilayah tersebut masih kesulitan mendapat akses air bersih?"
Meski begitu, kata dia, warga di permukiman kumuh masih bisa menerapkan new normal dengan modal sosial yang mereka miliki. Sebab, warga yang tinggal di kampung kota lebih memiliki kepekaan sosial dibanding warga yang tinggal di komplek perumahan. "Kekuatan itu yang jadi modal," ujarnya. "Warga punya akal untuk bisa melaluinya."
Selama masa pandemi ini, kata dia, warga bisa memanfaatkan lahan tidur untuk bercocok tanam. Selain itu, warga juga bisa memulai menerapkan pertanian perkotaan atau urban farming di lahan yang terbatas. "Jalan yang ditutup bisa dipakai bersepeda atau berolahraga lainnya."
Asisten Pembangunan dan Lingkungan Hidup DKI Yusmada mengatakan pemerintah terus mengantisipasi penyebaran virus semakin merebak di DKI, terutama di kawasan kumuh. "Belum ada yang tahu kapan wabah ini akan berakhir. Kampung kota harus beradaptasi," ujarnya.
Pemerintah pun berusaha menyiapkan infrastruktur yang dibutuhkan warga seperti tempat mencuci tangan dan memprogramkan khusus untuk pendistribusian jaringan air bersih ke kawasan kumuh hingga di rumah susun. "Yang dikedepankan sekarang warga hidup bersih dulu," ujarnya.