Pengamat asal Universitas Trisakti ini menjelaskan sebenarnya krisis lahan makam di Ibu Kota sudah berlangsung sejak sebelum pandemi. Setidaknya ada tiga faktor yang ia catat sebagai penyebab hal ini, yaitu model pemakaman yang masih konvensional yakni satu liang untuk satu jenazah, keberadaan makam fiktif yang dipertahankan keluarga masing-masing mendiang untuk memesan lahan secara berkelompok di suatu lokasi, juga penambahan lahan TPU yang seringkali terkendala dari sisi pembebasan dan pematangan lahan.
Atas berbagai faktor ini, menurutnya ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mensiasatinya, seperti menggunakan pemakaman model tumpuk sehingga satu galian lubang bisa memuat sedikitnya dua peti, juga mewajibkan kremasi bagi mereka yang memungkinkan.
Pemakaman tumpuk menurutnya dapat mengoptimalisasi lahan hingga 25 persen, sementara kremasi tidak akan memakan lahan sama sekali. Alternatif lain menurutnya adalah mengoper penguburan kepada pemerintah Bodetabek.
Mengenai hal ini, Nirwono mempertanyakan apakah sudah ada perjanjian antar pemerintah daerah. “Selama ini kremasi jenazah corona juga di Tangerang, bukan di Jakarta,” tambahnya.
Nirwono menegaskan bahwa kondisi pemakaman saat ini adalah darurat, dikarenakan masa pandemi yang juga darurat. Untuk itu, ia menilai dibutuhkan kerja sama antara pemerintah dan masyarakat agar dapat saling memahami urgensi ini, baik dari sisi prosedur pemakaman hingga ketersediaan lahan.
“Penting untuk berdiskusi dengan IDI dan MUI, juga pemuka agama soal ini karena ada aspek kesehatan dan spiritual, tapi memang pemerintah perlu membuat peraturan tegas, SK Gubernur soal ini supaya bisa dipahami dan disosialisasikan,” tandasnya.
WINTANG WARASTRI | MARTHA WARTA