Data yang dirilis Pemerintah DKI menunjukkan peningkatan kasus aktif melambat dari 49 persen menjadi 12 persen sejak pembatasan sosial ketat diberlakukan kembali dua pekan lalu. Data itu terlihat dari penambahan kasus aktif Covid-19 pada 30 Agustus hingga 11 September 2020 sebanyak 3.864 kasus aktif. Pada periode masa transisi itu jumlah kasus aktif sebanyak 11.824 kasus.
Sedangkan penambahan pada periode kedua sejak 12-23 September 2020 atau dalam 12 hari, tercatat meningkat 1.453 kasus atau 12 persen. Jumlah kasus aktif mencapai 13.277 kasus pada 23 September kemarin. Menurut Annisa, penurunan kasus aktif ini harus terus dipertahankan.
Sebabnya, jika terjadi lonjakan pasien kembali maka potensi rumah sakit kolaps dan tenaga kesehatan burnout bisa saja terjadi. "Berita rumah sakit dan ICU sudah full itu benar. Jadi bukan nakut-nakutin kalau informasi rumah sakit sudah penuh."
Masyarakat juga diharapkan ikut merasakan beban tenaga kesehatan dalam merawat pasien di tengah pandemi ini. Selama pandemi tenaga kesehatan harus menahan lapar, haus hingga buang air kecil dan besar selama 6-8 jam karena menggunakan hazardous material suit atau Hazmat. "Kami juga berisiko tertular karena merawat pasien," ujarnya. "Jadi kami cuma minta masyarakat patuh dan jangan ke mana-mana dulu untuk membantu tenaga kesehatan."
Defta Saputra, perawat yang menjadi relawan kesehatan di Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta Pusat, juga mempunyai harapan yang sama. Ia berharap pemerintah tetap mempertahankan pembatasan untuk menekan lonjakan pasien Covid-19. Sebabnya, lonjakan pasien yang cukup tinggi pada akhir Juni kemarin telah berdampak langsung terhadap pria berusia 24 tahun itu.
Lonjakan pasien itu membuat mentalnya terganggu karena melihat pasien yang tak kunjung berkurang. Puncaknya, pada pekan ketiga Juni lalu, Defta memutus berhenti total merawat pasien Covid-19 selama dua pekan. "Saya berhenti kerja bukan karena sakit. Tapi karena saya merasa mental saya down (turun) melihat pasien terus meningkat," kata Defta yang bertugas merawat pasien di Tower 7 RSD Wisma Atlet.
Sebuah ambulans memasuki area RS Darurat Covid-19 Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta, Rabu, 16 Sepetember 2020. Pada Rabu (16/9) pagi tadi, tidak ada antrean ambulans menuju pintu masuk Rumah Sakit Wisma Atlet. Hanya sesekali ambulans masuk ke rumah sakit melewati jalur satu itu. TEMPO/Muhammad Hidayat
Selain itu, yang membuatnya bertambah stres adalah stigma masyarakat terhadap tenaga kesehatan yang merawat pasien Covid-19, sebagai infeksius dan dijauhi. Ia juga jengkel melihat banyak masyarakat mengabaikan protokol kesehatan begitu pemerintah menerapkan transisi. Belum lagi mendengar sebagian masyarakat menganggap Covid-19 ini konspirasi dan isu politik. "Ngapain saya kerja keras di sini. Sedangkan di luar sana pandangannya seperti itu dan tidak patuh," ujarnya.
Pria asal Bengkulu itu menyatakan ingin segera pulang ke kampung halamannya karena merasa tak kuat lagi bekerja. Ia menghubungi ibunya untuk mengabarkan keputusannya berhenti kerja dan kembali ke Bengkulu.
"Tapi dilarang. Orang tua saya bilang kalau masih sayang ibu tetap di sana. Ibu bapak doakan yang terbaik."Nasihat orang tua membuat Defta luluh dan memutuskan untuk bertahan di Wisma Atlet.
Selain orang tua, tenaga kesehatan lain juga memberi dukungan agar perawat dari Rumah Sakif Karya Medika 1 Cikarang itu tetap bekerja. "Saya juga termotivasi sendiri kalau saya diam dan terus sedih justru memperburuk psikis saya. Saya berpikir banyak orang masih membutuhkan bantuan."