TEMPO.CO, Jakarta - Kepolisian Daerah Metro Jaya menyatakan menangkap 1.192 orang yang diduga sebagai perusuh aksi penolakan Omnibus Law. Orang-orang itu ditangkap walau belum melakukan unjuk rasa bersama massa aksi lain.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus menolak istilah polisi melakukan penangkapan. "Saya tidak nangkap, kalau nangkap pakai surat penangkapan, kalau nahan pakai surat penahanan, kita preventif, namanya saya amankan," kata dia di kantornya, Jumat, 9 Oktober 2020.
Yusri mengatakan, langkah ini diambil berdasarkan pengalaman dalam demonstrasi sebelum-sebelumnya. Menurut Yusri, 'pengamanan' ini bagian dari preventif.
"Ini kami preventif, pencegahan, karena kita tahu mereka mau bikin rusuh, kita sudah kurangi saja masih rame, kalau boleh kemarin semua kita amankan supaya gak ada yang bikin ribut," kata Yusri.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Tim Advokasi Untuk Demokrasi menilai tindakan kepolisian dalam menangani unjuk rasa penolakan Undang-Undang Cipta Kerja tidak proporsional. Salah satunya tentang menangkapi orang sebelum unjuk rasa.
"Ini melanggar Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di muka umum dan Perkap Nomor 8 tahun 1999 tentang implementasi prinsip hak asasi manusia," ujar salah satu tim Advokasi, Direktur LBHM Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Muhammad Afif Abdul Qoyim dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 8 Oktober 2020.
Tim Advokasi Untuk Demokrasi tersebut terdiri dari YLBHI, KontraS, LBH Masyarakat, LBH Jakarta, LBH Pers, LBH Muhammadiyah, LBH Anshor, AMAR Lawfirm, KASBI, Paralegal Jalanan, WALHI, Jatam, IMPARSIAL, ICJR, ELSAM.
Demonstrasi menolak UU Cipta Kerja di Jakarta pada Kamis, 8 Oktober 2020 berakhir ricuh. Pengunjuk rasa mendesak Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu)