Kemudian hal krusial yang perlu mendapat perhatian penting dalam pemberian perizinan adalah pemanfaatan sistem elektronik yang terpusat, yang mana menurut Bima perlu memperhatikan kapasitas daya dukung aplikasi dan infrastuktur teknologi informasi di daerah. “Sejauh pengalaman penerapan Online Single Submission (OSS) sejak 2018, beberapa kali mendapatkan kendala yang berdampak pada terganggunya proses pelayanan di daerah,” ucap Bima.
Kemudian catatan penting lainnya dalam UU ini, Bima mengatakan perihal izin ruang. Yang mana untuk izin Pemanfaatan Ruang sebagaimana diatur dalam UU 26/2007 tentang penataan ruang, diubah menjadi Kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang.
Dalam hal ini Pemerintah Daerah wajib menyusun dan menyediakan RDTR dalam digital dan sesuai standar sebagai dasar pelaku usaha mendapatkan konfimasi kesesuaian pemanfaatan ruang untuk dapat mengajukan perizinan berusaha. “Itu tertuang dalam Pasal 14 UU Omnibuslaw,” ucap Bima.
Menurut Bima, kewajiban ini seharusnya diikuti oleh kemudahan dalam prosedur penetapan RDTR oleh pemerintah pusat, sehingga banyak daerah belum dapat menyelesaikan produk RDTR. Catatan ini sebagai fakta atas tidak tercapainya target yang diamanatkan dalam PP 24/2018, bahwa dalam kurun waktu 6 bulan, Pemerintah Daerah wajib menetapkan RDTR. Karena sejak 2018 hingga saat ini sebagian besar Pemerintah Daerah belum dapat menyelesaikan produk RDTR.
Hal lain yang perlu mendapat catatan adalah kewenangan daerah mengatur wilayahnya sesuai tata ruang dan menjaga dampak dari aktivitas pemanfaatan ruang akibat adanya kegiatan strategis nasional dapat terabaikan. Hal ini dapat dilihat pada penambahan pasal 34 A dalam UU Penataan Ruang pasal 34 A. Dalam hal terdapat perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis belum dimuat dalam rencana tata ruang dan/atau rencana zonasi, pemanfaatan ruang tetap dapat dilaksanakan.
“Perubahan pasal 35 dalam UU 26/2007 pada UU Cipta Kerja ini, telah mengubah aspek pengendalian pemanfaatan ruang dengan menghilangkan aspek perizinan dan diganti dengan ketentuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang,” kata Bima Arya menjelaskan.
Kemudian dalam ketentuan pasal 37 UU 26/2007 dirubah menjadi persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat. “Hal ini kembali menarik kewenangan Pemerintah Daerah yang sebelumnya dapat menerbitkan izin pemanfaatan ruang sesuai rencana tata ruangnya,” kata Bima.