Boyd juga mengingatkan lima poin yang seharusnya digunakan oleh pengadilan dalam menangani kasus pencemaran udara ini.
1. Akses keadilan dan hak atas lingkungan yang baik dan sehat.
2. Bukti relevan berdasarkan penelitian ilmiah, tentang dampak buruk pencemaran udara terhadap kesehatan manusia dan hak asasi manusia di Indonesia.
3. Negara harus melakukan kewajibannya di bawah hukum hak asasi manusia internasional dari perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia.
4. Yurisprudensi konstitusional komparatif dari negara lain untuk membantu dalam menafsirkan hak atas lingkungan yang sehat dalam konteks polusi udara.
5. Setidaknya ada tujuh tindakan utama yang perlu dilakukan negara untuk memenuhi kewajiban atas hak warga untuk menghirup udara bersih.
Ketujuh tindakan itu adalah pantau kualitas udara dan dampaknya pada kesehatan; kaji sumber polusi udara; membuat informasi tersedia untuk umum, termasuk nasehat kesehatan masyarakat; menetapkan undang-undang, peraturan, standar, dan kebijakan kualitas udara; mengembangkan rencana aksi kualitas udara di tingkat lokal, nasional dan jika perlu tingkat regional; menerapkan rencana tindakan kualitas udara dan menegakkan standar; serta evaluasi kemajuan dan jika perlu perkuat rencana memastikan standar terpenuhi.
“Setiap upaya harus dilakukan untuk melibatkan perempuan, anak-anak, dan orang lain dalam situasi rentan yang suaranya terlalu sering dibungkam dalam proses kebijakan lingkungan,” kata Boyd.
Baca juga: Hakim Tolak LSM Gabung di Gugatan Polusi Udara Jakarta
Gugatan soal polusi udara Jakarta itu diajukan oleh Koalisi Ibu Kota ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Kamis, 4 Juli 2019. Terdapat tujuh tergugat dalam kasus ini, yakni Presiden Joko Widodo, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Gubernur Jawa Barat, dan Gubernur Banten.