Muhamad Lala, seorang tokoh masyarakat Desa Taman Rahayu mengatakan warganya tidak mendapatkan ganti rugi yang layak dari bau busuk dan pencemaran sampah milik DKI Jakarta, itu. “Kami sudah 20 tahun menderita karena sampah,” protesnya, saat demonstrasi berlangsung.
Desa Taman Rahayu hanya berjarak sekitar 200 meter dari zona 3 TPA Bantar Gebang, dengan jumlah penduduk 3.538 kepala keluarga. Sejak TPA Bantar Gebang beroperasi, mereka menanggung resiko buruk akibat sampah.
Di antaranya, air tanah tidak layak konsumsi karena tercemar air lindi, dan penyakit pernapasan. Dampak negatif terhadap kesehatan warga itu diketahui berdasarkan uji laboratorium Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Bekasi Nomor 24/LABKF/XI/2008, dan hasil survei pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) setempat.
Hasil pemeriksaan dampak lingkungan menyebutkan bahwa air tanah di Desa Taman Rahayu, tidak memenuhi kualitas sebagai air bersih, dan udaranya kotor.
Muhamad Lala, menyesalkan pemerintah DKI Jakarta sebagai pengguna lahan TPA hanya memberikan kompensasi ke pada di wilayah Kota Bekasi. Yaitu, Kelurahan Ciketing Udik, Sumur Batu, dan Cikiwul, sebesar Rp 1,3 miliar per tiga bulan.
Joko Suratno, kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas TPA Bantar Gebang, mengatakan tuntutan warga tersebut salah alamat. Joko beralasan, perjanjian kerjasama berikut nilai uang kompensasi untuk warga di sekitar TPA Bantar Gebang hanya dilakukan dengan Pemerintah Kota Bekasi, tidak dengan Pemerintah Kabupaten Bekasi. “Seharusnya ada perjanjian lebih dulu dengan Kabupaten Bekasi,” ujar Joko ketika dikonfirmasi wartawan via telepon selulernya. Juru bicara Pemerintah Kabupaten Bekasi Juhandi, mengatakan seharusnya pemerintah DKI Jakarta yang proaktif terhadap masalah yang dialami warga. “Kami menunggu undangan DKI membicarakan masalah ini,” ujarnya.
HAMLUDDIN