TEMPO.CO, Jakarta - Sebanyak 58,8 persen warga Jabodetabek yang mengikuti survei cepat Pusat Kajian Kepemudaan (PUSKAMUDA) menolak pemindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Nusantara, Kalimantan Timur.
Peneliti PUSKAMUDA Rissalwan Habdy Lubis menerangkan, survei diadakan pihaknya tak lama setelah Jokowi mengumumkan nama Ibu Kota baru tersebut pada awal Januari 2022, dengan 500 responden dari Jabodetabek.
"Lebih banyak responden dari kelompok usia 20 tahun ke atas, yakni 21,6 persen," ujar Rissalwan dalam webinar Menata Jakarta Usai Ditinggal Ibu Kota, Jumat, 4 Februari 2022.
Dari survei tersebut, Rissalwan mengatakan hanya 29 persen warga Jabodetabek yang setuju dan sisanya 11,8 persen tidak peduli. Alasan masyarakat setuju pemindahan Ibu Kota antara lain, agar ada perbaikan kualitas lingkungan di Jakarta dan memandang perlu adanya pemisahan pusat ekonomi dan pemerintahan.
Sedangkan alasan tidak setuju, karena memandang nilai historis Jakarta sebagai Ibu Kota Negara, kekhawatiran kerusakan lingkungan di Kalimantan sebagai paru-paru dunia, membebani APBN, dan keputusan politis yang gegabah.
Baca Juga:
"Lalu karena khawatir fokus penanganan Covid-19 jadi terabaikan. Padahal kasus Covid-19 sedang naik lagi," ujar Rissalwan.
Alasan lain masyarakat setuju pemindahan Ibu Kota, karena berharap terciptanya peluang bisnis yang baru serta lingkungan yang lebih baik dan tertata.
Untuk pihak yang tidak setuju, karena merasa bukan ASN sehingga tak memiliki keharusan untuk pindah, ketiadaan modal untuk pindah, merasa sudah nyaman dan mapan di Jakarta.
Ketiadaan fasilitas umum yang belum dibangun juga menjadi salah satu alasan masyarakat menolak pindah ke IKN Nusantara. "Ada juga pengorbanan dalam hal jejaring sosial dan kekhawatiran pergesekan sosial berbasis kesukuan," kata Rissalwan.
Seperti diketahui, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI resmi menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara (RUU IKN) menjadi Undang-undang.
Persetujuan UU Ibu Kota Negara diambil dalam rapat paripurna DPR RI ke-13 masa persidangan III tahun 2021-2022 yang digelar Selasa, 18 Januari 2022.
Riza mengatakan, pihaknya saat ini diberi waktu 50 hari oleh Kementerian Dalam Negeri untuk menentukan status barunya setelah resmi tidak menjadi Ibu Kota kembali. Riza mengatakan, pihaknya sedang menggodok naskah akademik penentuan nasib Jakarta itu.
"Kami sedang merumuskannya, karena diberi waktu oleh Kemendagri dalam 50 hari ke depan untuk menyelesaikan konsepnya, naskah akademik, dan sebagainya. Apa usulan dari Pemprov DKI Jakarta," ujar Riza di Balai Kota, Jakarta Pusat, Kamis, 3 Februari 2022.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Riza Patria menjelaskan, saat ini tersedia beberapa pilihan status baru untuk Jakarta, antara lain pusat perekonomian, pusat perdagangan, kota bisnis, kota keuangan atau kota jasa perdangangan, kota jasa bersekala global atau bersekala internasional.
Selain itu, Riza mengatakan ada pula pilihan menjadikan Jakarta pusat kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan.
"Dulu mohon maaf, yah, orang Malaysia belajarnya ke Indnesia, sekarang banyak orang Indonesia belajar ke Malaysia, begitu juga yang lainnya Sekarang ke depan indonesia bisa menjadi pusat perekonomian dan juga menjadi pusat pendidikan dan kesehatan. Itu harapan kedepan," kata Riza.
Lebih lanjut, Riza mengatakan pembahasan naskah akademik status baru Jakarta dibahas bersama para pakar. Ia mengajak masyarakat untuk berperan aktif menentukan nasib Jakarta ke depan setelah tidak jadi ibu kota negara.
"Ini semuanya ada timeline-nya. Ini akan dimasukan ke Proleknas 2023 untuk dibahas di DPR. Itu nanti ada tahapan-tahapannya ya, jadi kami mengikuti alur mekanisme yang ada seperti biasa," kata Riza.
M JULNIS FIRMANSYAH
Baca juga: Ibu Kota Pindah, Senator Sylviana: Warga Jakarta, Don't Worry be Happy