TEMPO.CO, Jakarta - Polda Metro Jaya menyatakan aktivitas organisasi Khilafatul Muslimin belum dilarang meski pemimpinnya, Abdul Qodir Hasan Baraja, dinyatakan sebagai tersangka usai ditangkap di Lampung.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Endra Zulpan mengatakan tindak lanjut dari kepolisian setelah menangkap Abdul Qodir Baraja baru sebatas pengembangan pemeriksaan sambil berkoordinasi dengan instansi terkait.
"Ya, nanti (terkait pembekuan kegiatan) diperiksa dulu pemimpin tertingginya," kata Zulpan dikutip dari keterangannya, Rabu, 8 Juni 2022.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan mengatur ormas yang melanggar aturan bakal mendapat sanksi administratif mulai dari teguran tertulis, penghentian kegiatan, hingga pencabutan status badan hukum.
Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda Metro Jaya Kombes Hengki Haryadi menuturkan tim penyidik hingga kini masih meneliti barang bukti yang berhasil diperoleh dari hasil penggeledahan tempat Abdul Qodir berada saat ditangkap.
"Sekarang kami fokus penyidikannya, tim kami sebagian masih ada di lampung, masih meneliti barang bukti yang bisa dijadikan alat bukti dari hasil penggeledahan banyak sekali," ucap dia.
Polda Metro Jaya menangkap pimpinan tertinggi kelompok Khilafatul Muslimin Abdul Qadir Hasan Baraja, di Lampung, Selasa, 7 Juni 2022. Abdul Qadir Baraja ditangkap oleh penyidik Ditrektorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya.
Penangkapan tersebut dilakukan setelah kepolisian menyelidiki aksi konvoi sekelompok pengendara motor yang menamakan diri sebagai Khilafathul Muslimin di kawasan Cawang, Jakarta Timur. Mereka mempromosikan khilafah ke warga masyarakat
Hengki menjelaskan, kegiatan Khilafatul Muslimin sangat bertentangan dengan Pancasila. Kesimpulan ini diperolehnya setelah mengnalisis dan menyelidik kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan organisasi tersebut.
Dalam kasus ini, Abdul Qadir Baraja dijerat pasal berlapis karena bertanggung jawab atas sepak terjang Khilafatul Muslimin. Ia dijerat Pasal 59 Ayat 4 juncto Pasal 82 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Masyarakat (Ormas) juga penyebaran berita bohong dan ujaran kebencian.
"Kami lihat website-nya, ternyata di situ ada videonya, ada artikelnya. Setelah dianalisis dari berbagai ahli, ahli literasi ideologi Islam, bahasa, pidana, ahli psikologi massa bahwa ini memang memenuhi delik UU Ormas," ujar Hengki.
Baca juga:
Pengikut Anggap Pemimpin Khilafatul Muslimin seperti Khalifah Umar Bin Khattab