TEMPO.CO, Jakarta - Warga RT. 17, RW. 04, Kelurahan Kapuk Muara, Penjaringan, Jakarta Utara selama puluhan tahun hidup di atas tumpukan sampah yang menumpuk di kolong rumah-rumah panggung mereka. Bagaimana cara warga sekitar menjalani kehidupan sehari-hari
Ana, 32 tahun, ibu rumah tangga, mengungkapkan ia beserta keluarga telah tinggal di tempat itu kira-kira sejak 20 tahun lalu. Ia menyebut dulunya tempat tersebut merupakan rawa. "Ya, sekarang, mah, ya, banyak (sampah). Kalau dulu, kan, masih di sini rumah, di sana rumah," kata Ana saat ditemui di rumahnya pada Rabu 28 Juni 2023.
Warga, kata Ana, sebagian besar merupakan pekerja kasar di berbagai tempat. Selain itu, beberapa warga juga ada yang membuka toko kelontong dan warung makan. "Buruh pabrik, kuli panggul di Tanah Abang. Ada yang kerja di gudang," ujar dia.
Ana mengatakan warga sekitar sudah terbiasa hidup dengan aroma yang dihasilkan tumpukan sampah di bawah rumahnya. Ia menyebut cara mengatasi baunya terkadang hanya dengan menutup pintu saja. "Ya, gimana, memang sudah begini adanya, biasa saja. Apa adanya, deh," kata Ana.
Kampung rumah panggung Muara Kapuk, Jakarta Utara. Warga berdampingan dengan sampah tersebab tidak adanya tempat pembuangan sampah. Tempo/ Mirza Bagaskara
Perihal akses air bersih, Ninu, 52 tahun, orang tua Ana, mengaku warga sekitar menggunakan air ledeng dari PAM untuk kebutuhan mandi, cuci, dan keperluan buang air. Namun, kata dia, warga juga memanfaatkan air tanah yang disedot melalui pompa.
"Air PAM, kalau mandi, sih, pakai air rawa, he-he-he," kata Ninu saat ditemui pada kesempatan yang sama.
Pantauan Tempo, di lingkungan sekitar warga memiliki toilet umum untuk keperluan buang air dengan ada septic tank sehingga limbah kakus tidak langsung di buang ke bawah rumah warga. Air yang terdapat di ember terlihat keruh dan berbau khas air rawa.
Selain itu, Ninu mengatakan tidak ada fasilitas kesehatan di sekitar lingkungan mereka. Ia menyebut biasanya petugas posyandu akan datang langsung dan memberikan layanan kesehatan di rumah ketua RT. 17.
"iya, nakesnya mengerti, tapi dulu pernah kelurahan memerintahkan harus ada tempat. Tapi, ya, mau gimana, kondisi seperti ini," ujar dia.
Tempo melihat rumah warga sebagian terbuat dari material triplek dan atap seng serta berupa bangunan semi permanen. Akses jalan serta rumah warga juga ditopang oleh bambu besar dan tiang beton. Terkadang sedikit terasa goyangan apabila motor melintas.
Pilihan Editor: Bus Transjakarta Bandara Soetta Gratis Satu Bulan, Ini Rute dan Jam Operasionalnya