TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Kauangan Sri Mulyani Indrawati membagikan momen berfoto bersama Wakil Presiden Ma’ruf Amin dan beberapa menteri melalui akun Instagram pribadinya @smindrawati. Foto itu diambil setelah rapat internal kabinet membahas mengenai RUU Daerah Khusus Jakarta yang digelar di Istana Negara, Jakarta Pusat, pada Selasa, 12 September 2023.
Dalam postingannya, Sri Mulyani menuliskan bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN) mengamanatkan perlunya mengganti UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Pemindahan Ibu Kota Negara, berdasarkan UU IKN mengubah status Jakarta yang semula Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) diarahkan menjadi Daerah Khusus Jakarta (DKJ),” tulis Sri Mulyani dikutip Kamis, 14 September 2023.
Dilansir pada Jakarta.go.id, sejarah tentang Jakarta tercatat oleh para pengembara Eropa di abad ke-16. Kala itu, Jakarta marak disebut sebagai Kalapa, yang merupakan pelabuhan utama kerajaan Sunda. Pelabuhan yang turut menjadi pusat perniagaan Portugis kala itu diserang oleh Pangeran Fatahillah pada 22 Juni 1527. Sejak itu, Pangeran Fatahillah mengganti nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta. Tanggal penyerangan itu hingga kini diperingati sebagai HUT Kota Jakarta.
Kemudian pada abad ke-16, VOC Belanda tiba dan mengambil alih kekuasaan atas Jayakarta dan mengganti namanya menjadi Batavia, yang diambil dari nenek moyang bansa Belanda, Batavieren. Kondisi geografis Batavia serupa dengan negara Belanda, sehingga pemerintah kolonial Belanda membangun kota dengan kanal untuk melindungi Batavia dari ancaman banjir seperti di Belanda. Pemerintah kolonial Belanda selanjutnya mendirikan pusat pemerintahan, dan memindahkannya ke daratan yang lebih tinggi dengan nama Weltevreden.
Batavia mulai menjadi pusat pergerakan nasional di awal abad ke-20 yang ditandai dengan Kongres Pemuda Kedua di tahun 1928. Sejak pendudukan Jepang di Indonesia akibat perang Dunia ke-II pada tahun 1942-1945, Batavia berganti nama menjadi Jakarta, atau Jakarta Tokubetsu Shi.
Sejak Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945, Jakarta menjadi pusat kegiatan politik dan pemerintahan pada masa awal kemerdekaan. Kemudian secara resmi pada tahun 1966 Jakarta menjadi Ibu Kota Negara. Sebagai Ibu Kota Negara, Jakarta berkembang pesat dengan dibangunnya lokasi bisnis, akomodasi, hingga kedutaan besar bagi negara sahabat.
Sejarah Hilang Jakarta
Dilansir dari Historia.id, menurut sejarawan Adolf Heuken yang tinggal di Menteng sejak 1960-an, Oranje dan Nassau Boulevaard sangat ramai dilalui orang, namun di daerah sekitarnya sangat tenang.
“Menteng selain Boulevard Imam Bonjol dan Diponegoro merupakan permukiman yang tenang. Sangat nyaman duduk di teras di muka rumah pada sore hari sambil memandangi jalan, membaca koran, atau terima tamu,” tulis Adolf Heuken dalam Menteng: Kota Taman Pertama di Indonesia.
Penamaan Laan dipakai untuk jalan penghubung antara jalan ramai. Misalnya, Tamarindelaan yang kini menjadi Jalan KH Wahid Hasyim, Alaydruslaan (Jalan Alaydrus), dan Kenarilaan (Jalan Kenari).
Jalan yang memiliki kegiatan bisnis dan perdagangan diberi nama Straat. Misalnya Kerkstraaat, yang saat ini bernama Jalan Jatinegara Timur. Pasar Baru Straat dan Risjwijkstraat (JalanVeteran) adalah jalan yang hingga kini masih menjadi daerah perniagaan dan pertokoan.
Selain itu ada weg, nama jalan untuk daerah permukiman. Pemerintah melarang kawasan weg dijadikan tempat perdagangan. Weg yang terkenal adalah Javaweg (kini Jalan HOS Tjokroaminoto), Drukerijweg (Jalan Percetakan Negara), dan Jacatraweg (Jalan Pangeran Jayakarta).
Jacatraweg dahulu permukiman elite di utara Batavia. Di daerah ini, berjejer rumah besar dan megah yang dihuni orang-orang kaya. “Rumah-rumah milik orang kaya terdapat juga di sepanjang Jacatraweg yang membujur dari barat-laut ke tenggara,” tulis Abdul Hakim dalam Jakarta Tempo Doeloe.
Untuk kawasan taman kota, pemerintah menamakannya park, seperti Prinsenpark (Lokasari), Hertogpark (Pejambon), Deca Park (bagian utara Monas sekarang), Eijkmanpark (dekat Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo), dan Wilhelmina Park (Masjid Istiqlal).
DIMAS KUSWANTORO | NUR KHASANAH APRILIANI | MOH. KHORY ALFARIZI
Pilihan editor: DKI Diubah Jadi Daerah Khusus Jakarta, Peneliti BRIN: Pertahankan Nilai Sejarah