TEMPO.CO, Jakarta - Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk Provinsi DKI Jakarta tengah membantu mediasi dugaan kekerasan psikis santri oleh sejumlah wali santri di SMP Al Ihsan di Kebagusan, Jakarta Selatan. Konflik berpangkal dari tuduhan perundungan (bullying) yang dilakukan oleh si santri terhadap beberapa temannya yang duduk di bangku sekolah Kelas VII tersebut.
TEMPO menerima informasi ini dari salah satu wali santri dan mendapatkan konfirmasi dari Pelaksana tugas Kepala Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk Provinsi DKI Jakarta, Rizky Hamid. "Benar, memang ada laporan dugaan kekerasan psikis terhadap salah satu santri yang diduga dilakukan oleh santri dan wali murid," kata Rizky saat dihubungi pada Kamis, 26 Oktober 2023.
Menurut Rizky, pelaporan kasus yang datang dari sekolah atau pondok pesantren itu sudah ditangani oleh layanan Pembercayaan Perempuan dan Perlindungan Amak DKI Jakarta. Tindak lanjut yang sudah dilakukan adalah mendatangi sekolah untuk mencari klarifikasi dan informasi dugaan bullying tersebut pada Selasa, 24 Oktober 2023.
"Kami telah melakukan kegiatan school visit dalam rangka advokasi sekolah ke pesantren tersebut untuk mencari klarifikasi," tuturnya. Hasilnya nanti, Rizky menambahkan, bakal ditindaklanjuti lagi berupa pertemuan antara para pihak yang difasilitasi oleh sekolah dan yayasan. "Masih terus diupayakan mencari titik temu," ucapnya.
Kronologi dari Asrama ke Grup WA
Terpisah, seorang wali santri menyebut duduk perkara pelaporan kasus berawal dari insiden 'benturan' dua santri usai kajian malam di asrama para santri itu pada 25 Juli 2023. Satu santri mengeluh sakit pada tulang ekor setelahnya dan harus mendapat perawatan.
Orang tua dari santri yang menjadi korban itu meminta ganti rugi biaya perawatan saat itu yang menghabiskan biaya Rp 3 juta. Lewat mediasi oleh sekolah, biaya disepakati ditanggung separuhnya oleh wali atau orang tua dari santri yang kedua.
Tapi, masalah belum selesai. Diduga, perawatan masih harus berlanjut setelah dipastikan ada retak pada tulang ekor santri korban. Mengkalkulasi biaya perawatan ke depannya, serta kerugian yang dialami anaknya, si wali santri korban mengajukan kembali biaya sebesar Rp 30 juta.
Tuntutan terbaru belum juga mencapai titik temu saat perilaku yang dianggap tak menyenangkan dari santri pelaku bermunculan dari kesaksian wali santri lain. Dari sinilah terjadi dugaan bullying dan kekerasan psikis yang dialami santri pelaku di grup aplikasi perpesanan whatsapp wali santri.
Tak terima, orang tuanya pun mengadu ke sekolah atau yayasan dan kini masalahnya sampai ke Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk Provinsi DKI Jakarta. Pengaduan ke dinas dilakukan oleh wali santri.
Apa Kata Sekolah?
Ditemui di sekolah, Kepala SMP Al Ihsan, Ahmad Yani, membenarkan adanya mediasi melibatkan Pemda DKI itu. Seperti dituturkan Rizki, dia mengatakan klarifikasi telah diberikan oleh sekolah pada 24 Oktober lalu.
Menurut Ahmad Yani, kekerasan psikis sebatas di grup percakapan wali santri, tak sampai di lingkungan sekolah. Grup itu pun, dia mengklaim, bentukan para wali santri sendiri, bukan inisiasi dari sekolah.
Itu, Ahmad Yani menambahkan, lantaran perseteruan wali santri yang berujung sindir-sindiran hingga merembet ke pelaporan. “Tidak pernah terjadi kekerasan secara psikis di lingkungan sekolah," katanya saat ditemui Senin lalu.
Dia juga menjelaskan bahwa sejauh permasalahan ini mencuat, sekolah sudah mengkonfrontir kedua belah pihak sebanyak 2 kali dan memanggil masing-masing 3 kali. Dan, lantaran sudah masuk ke ranah laporan dinas, rencananya kedua wali santri akan dipanggil lagi pada hari ini Kamis, 2 November 2023.
Pilihan Editor: Kata Pedagang Beras Soal Kenapa Terus Naikkan Harga Saat Ini