TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengatakan ingin mendengarkan secara langsung penjelasan dari pengusul klausul gubernur ditunjuk presiden yang tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta atau RUU DKJ. Usulan ini datang dari Majelis Amanah Persatuan Kaum Betawi yang kemudian disetujui DPR RI.
“Saya ingin mendengar dari teman-teman DPR atau dari siapa yang menyampaikan aspirasi. Saya ingin mendengarkan secara utuh seperti apa alasannya, baru nanti kami tanggapi,” kata Tito di kawasan Menteng, Jakarta Pusat pada Selasa, 19 Desember 2023.
Kritik terhadap RUU DKJ muncul usai disahkan sebagai RUU inisiatif DPR pada Selasa, 5 Desember 2023. Pasal 10 RUU itu menjadi salah satu klausul kontroversial.
Sebab, pasal itu mengatur soal penunjukan gubernur dan wakil gubernur oleh persiden setelah Jakarta tak lagi menjadi Ibu Kota Negara. Nama Jakarta rencananya akan diubah menjadi Daerah Khusus Jakarta.
Dalam Pasal 10 tertulis Provinsi DKJ dipimpin gubernur dan wakil gubernur. Kemudian Pasal 10 ayat 2 tertera bahwa gubernur dan wakil gubernur DKJ diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan memperhatikan usul atau pendapat DPRD.
Usulan ini ternyata disampaikan Ketua Bidang Regulasi Majelis Amanah Persatuan Kaum Betawi Zainuddin alias Haji Oding dalam rapat DPR pada 9 November 2023. Badan Legislasi DPR mengundang perwakilan masyarakat Betawi untuk membahas draf RUU DKJ.
Haji Oding mengusulkan agar pemimpin, baik gubernur atau wakil gubernur Provinsi DKJ, merepresentasikan masyarakat Betawi. Karena itulah, ia dan timnya mengusulkan agar putra Betawi menjadi gubernur atau wakil gubernur DKJ yang ditunjuk langsung oleh presiden.
Secara pribadi, Tito sepakat perlunya undang-undang yang mengatur perlindungan terhadap masyarakat Betawi. Tujuannya agar kearifan Betawi tidak tergerus para pendatang.
Namun perlu ada pembahasan lebih lanjut tentang bentuk perlindungan tersebut. “Paling enggak nilai-nilai tradisi kebetawian segala macam, tapi bentuknya apakah seperti itu?” tanya Tito.
Menurut dia, bentuk perlindungan terhadap masyarakat Betawi bisa beragam. Misalnya dengan melembagakan masyarakat Betawi, memberi anggaran khusus, membuat aturan dari pemerintah pusat, atau memilih pemimpin seperti usulan Haji Oding.
“Atau mungkin dalam bentuk perwakilan sebagai pimpinan daerah, gubernur, atau mungkin setingkat wakil wali kota,” ujar Tito.
Eks Kapolri itu menyebut perlu ada diskusi terlebih dulu antara pemerintah pusat dengan pengusul pasal gubernur ditunjuk presiden. Tito Karnavian mengaku tengah menunggu undangan dari pihak terkait guna membahas RUU DKJ ini.
Pilihan Editor: Warga Membobol Masuk, DKI Bantah Kampung Susun Bayam Warisan Anies Proyek Mangkrak