TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut ada 7 faktor yang menyebabkan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia hanya memperoleh skor 34 pada tahun 2023. Skor IPK yang diluncurkan Transparency International Indonesia itu membuat peringkat Indonesia merosot dari 110 pada 2022, menjadi 115 dari 180 negara pada tahun ini.
Dalam rilisnya yang berjudul "Omon-Omon Pemberantasan Korupsi Jokowi" pada Selasa, 30 Januari 2024, ICW menyebut skor IPK itu menunjukkan stagnasi di masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Baca Juga:
“Jika ditarik ke belakang, skor IPK Indonesia saat ini sama dengan saat pertama kali Presiden Jokowi menjabat sebagai Presiden pada tahun 2014,” kata ICW dalam keterangan tertulisnya, Selasa, 30 Januari 2024.
ICW menegaskan data itu menunjukkan bahwa Jokowi tidak memiliki kontribusi dalam agenda pemberantasan korupsi. Terlebih, dia menjabat selama 9 tahun tapi cenderung membawa kemunduran yang signifikan.
ICW mengungkapkan tujuh faktor IPK Indonesia mengalami penurunan, yaitu:
Pertama, sebagai kepala negara Jokowi terlalu sibuk “cawe-cawe” dalam urusan politik daripada membenahi hukum. Beberapa aturan seperti RUU Perampasan Aset, RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal hingga Revisi UU Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) tidak segera dikerjakan.
Kedua, Jokowi dianggap lepas tanggung jawab terhadap situasi KPK saat ini. Sesuai dengan Pasal 33 UU KPK, presiden seharusnya dapat mengambil tindakan atas peristiwa yang terjadi di KPK, atau saat menjumpai tata kelola kelembagaan yang buruk. “Akibatnya, kinerja KPK menurun, bahkan kepercayaan masyarakat merosot tajam belakangan waktu terakhir,” kata ICW.
Ketiga, beberapa proyek legislasi yang dilakukan presiden bersama DPR dianggap mendegradasi pemaknaan korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Hal itu membuat para terpidana korupsi lebih cepat menjalani masa pemidanaannya.
Keempat, ICW melihat jika komitmen aparat penegak hukum semakin rendah dalam memberantas korupsi. Di penghujung tahun 2023, Ketua KPK Firli Bahuri ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan tindak pidana korupsi oleh Polda Metro Jaya.
Kelima, lembaga kekuasaan kehakiman masih belum berorientasi pada pemberian efek jera saat menjatuhkan hukuman terhadap pelaku korupsi. ICW menyebut ada beberapa putusan Mahkamah Agung yang janggal di tahun 2023. Seperti mantan Hakim Agung, Gazalba Saleh yang divonis bebas pada tingkat kasasi.
Keenam, munculnya praktik lancung seperti konflik kepentingan pejabat publik. Jokowi dianggap mengambil kebijakan yang memungkinkan menteri-menterinya turut serta pada Pemilu 2024 tanpa harus mengundurkan diri. Ia juga mengeluarkan statement bahwa presiden dan menteri boleh berkampanye dan berpihak dalam kontestasi elektoral. Begitu juga lembaga-lembaga yang berada dalam naungannya.
Ketujuh, gelombang korupsi di sektor politik kian masif belakangan waktu terakhir. Sebagai contoh, di lingkaran terdekat kabinet Jokowi saja, sudah ada 6 menteri dan 1 wakil menteri tersandung kasus korupsi.
Tujuh anggota kabinet Jokowi yang mengalami kasus korupsi itu adalah Juliari P Batubara (Menteri Sosial), Edhy Prabowo (Menteri Kelautan dan Perikanan), Imam Nahrawi (Menteri Pemuda dan Olahraga), Idrus Marham (Menteri Sosial), Johnny G Plate (Menteri Komunikasi dan Informatika), Syahrul Yasin Limpo (Menteri Pertanian), dan Eddy Hiariej (Wakil Menteri Hukum dan HAM). Jumlah ini terbilang paling banyak jika dibandingkan dengan rezim pemerintahan sebelumnya.
Pilihan Editor: Kisah Anggi Si Pembajak Paket Shopee Express, Hanya Didampingi Penasihat Hukum dari Posbakum