TEMPO.CO, Jakarta - Film dokumenter Dirty Vote mengulas dugaan berbagai instrumen kekuasaan digunakan untuk melakukan kecurangan pada Pemilu 2024. Salah satu yang dibahas adalah kejanggalan dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang batas usia minimal calon wakil presiden (cawapres).
Putusan MK bernomor 90/puu-xxi/2023 itu mengatur seseorang yang pernah menjabat sebagai kepala daerah atau pejabat negara lainnya yang dipilih melalui pemilu bisa mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden meski berusia di bawah 40 tahun. Putusan ini membuka jalan bagi Gibran Rakabuming Raka, anak Presiden Joko Widodo, maju menjadi cawapres nomor urut 2 berpasangan dengan Prabowo Subianto.
Putusan MK tersebut dianggap memiliki banyak kejanggalan dari berbagai sisi. Dalam film Dirty Vote, pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, menyebut putusan MK ini puncak dari rangkaian cerita tentang kecurangan Pemilu.
Setidaknya terdapat 11 poin kejanggalan dalam putusan MK ini mulai dari awal permohonan, jalannya persidangan, hingga konflik kepentingan yang muncul. Berikut adalah poin-poin kejanggalan putusan MK versi Dirty Vote:
1. Kontradiksi Mahkamah Konstitusi
Bivitri menyoroti sikap MK yang kontradiktif soal gugatan syarat pencalonan presiden dan wakil presiden. Ia mencontohkan MK menolak 31 kali upaya gugatan soal syarat presidential threshold dengan berbagai alasan. Namun, MK dengan mudahnya mengabulkan gugatan perubahan batas usia yang menjadi salah satu syarat mencalonkan diri sebagai capres-cawapres hanya dalam satu kali permohonan.
2. Cara instan ubah UU tanpa DPR
Bivitri menilai mengubah undang-undang (UU) terkait batas usia cawapres melalui Mahkamah Konstitusi merupakan cara instan. Padahal seharusnya, sesuai pasal 20 UUD 1945, perubahan UU dilakukan oleh pembentuk undang-undang yakni DPR.
“Kita harus ingat cara untuk mengubah undang-undang melalui Mahkamah konstitusi sebenarnya adalah cara yang dalam tanda kutip instan,” tuturnya.
Berikutnya: Konflik kepentingan