TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) menyoroti keputusan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) dalam kasus pungutan liar atau pungli di rutan KPK.
Dalam putusannya, Dewas menjatuhkan sanksi atas pelanggaran kode etik yang dilakukan puluhan pegawai Rutan KPK yang terlibat praktik pungli berupa permintaan maaf secara terbuka dan langsung sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (3) Perdewas No. 3/2021.
Ada 78 pegawai rutan KPK yang dijatuhi sanksi permintaan maaf, sementara 12 orang lainnya diserahkan kepada Sekretariat Jenderal KPK. Menanggapi putusan tersebut, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Diky Anandya mengatakan putusan Dewas KPK semakin menimbulkan kekecewaan di tengah runtuhnya kepercayaan publik kepada lembaga tersebut.
"Jika ditarik akar persoalan mengapa hukuman yang diberikan hanya berupa permintaan maaf, bukanlah soal kualitas dari putusan Dewas. Sebab jika mengacu pada Perdewas 3/2021, sanksi tersebut adalah sanksi maksimal yang dapat diberikan," kata Diky dalam keterangannya, Selasa, 20 Februari 2024.
Menurut dia, akar permasalahannya terletak pada kewenangan terbatas Dewas KPK berdasarkan revisi Undang-undang (UU KPK) tahun 2019.
Kasus ini, kata dia, menjadi gambaran jelas problematika UU KPK yang baru, yaitu kewenangan self regulatory bodies atau pengelolaan SDM tidak lagi dilakukan secara mandiri. Pegawai KPK saat ini berstatus sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), yang artinya sistem kepegawaiannya tunduk ke dalam ketentuan rezim peraturan perundang-undangan ASN.
ICW pun mencatat tiga rekomendasi atas putusan Dewas terhadap pelaku pungli di rutan KPK:
Pertama, ICW mendorong agar Dewas dapat segera berkoordinasi dengan Inspektorat KPK agar semua pegawai yang terlibat dalam kasus ini dapat segera dipecat.
Berangkat dari berkas putusan etik hari ini, maka Dewas dapat merekomendasikan kepada Inspektorat agar dapat menyatakan bahwa 90 pegawai telah melanggar Pasal 5 huruf a Peraturan Pemerintah No. 94 Tahun 2021 tentang disiplin PNS berupa penyalahgunaan wewenang. Hukuman yang dapat diberikan berdasarkan Pasal 8 ayat (1) huruf c PP tersebut adalah pemberhentian tidak atas permintaan sendiri.
Kedua, ICW mendorong agar dengan adanya putusan etik ini, Dewas dapat segera mendorong agar proses pemidanaan dapat dilakukan dengan segera. Sebab, proses penanganan perkara oleh KPK terhadap pegawainya sangatlah lamban.
Jika ditarik mundur, Dewas telah melaporkan masalah ini kepada pimpinan KPK sejak Mei 2023. Namun, hinggat saat ini, KPK tak kunjung mengumumkan nama-nama tersangka.
Ketiga, KPK segera melakukan evaluasi guna memperkuat sistem pengawasan untuk memitigasi praktik-praktik korupsi di internal kelembagaannya.
Sebagai penegak hukum, mestinya KPK memahami bahwa rutan merupakan salah satu tempat yang rawan terjadi korupsi karena di sana para tahanan dapat berinteraksi secara langsung dengan pegawai KPK.
Selain itu, tindakan jual-beli fasilitas yang disinyalir terjadi di rutan KPK saat ini juga bukan modus baru dan kerap terjadi pada rutan maupun lembaga pemasyarakatan lain.
Dalam sidang pelanggaran etik yang digelar Dewas KPK pada Kamis, 15 Februari 2024 di Gedung C1 KPK, anggota Dewas Albertino Ho menyatakan praktik pungli ini terstruktur secara masif di tiga rutan KPK, yaitu rutan Gedung Merah Putih, Rutan KPK Gedung C1, Rutan KPK cabang Pomdam Jaya Guntur.
Para pegawai Rutan KPK disebut memberikan jasa kepada para tahanan yang ingin menggunakan handphone di rutan, dengan syarat membayar sekitar Rp 5 juta. “Pada awalnya Rp 20-30 juta kalau memasukkan handphone, begitu juga tiap bulan harus turun Rp 5 juta supaya bebas untuk memakai handphone,” ucap Albertino.
Para terperiksa kasus pungli di Rutan KPK juga memfasilitasi para tahanan yang ingin mengisi daya power bank, membelikan makanan, atau rokok dari luar, atau mengambil barang tahanan dari loker.
Pilihan Editor: Cegah Teroris, Tito Minta BNPT Buat Program untuk yang Terpapar Paham Takfiri dan Jihadi