TEMPO.CO, Jakarta - Staf Pengelolaan Pengetahuan, Data dan Publikasi Migrant Care Trisna Dwi Yuni Aresta, menanggapi perkara dan putusan tujuh Panitia Pemilihan Luar Negeri atau PPLN Kuala Lumpur, Malaysia, di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.
“Seluruh proses sidang berlangsung memperlihatkan kebobrokan aktor penyelenggara pemilu, ketidakpahaman pada aturan main hukum pemilu,” kata dia saat dihubungi Tempo, Kamis, 21 Maret 2024.
Ia mengatakan, momentum putusan itu sebaiknya dilihat sebagai titik puncak kebobrokan penyelenggaraan pemilu luar negeri. Sebab itu, kata Trisna, dibutuhkan evaluasi menyeluruh dan perubahan penyelenggaraan sistem pemilu.
“Ratusan pekerja migran tak dapat melaksanakan hak politiknya. Pekerja migran kita tak pernah dipandang sebagai warga negara, jumlahnya selalu dikira-kira dalam angka-angka bahkan dijadikan bahan transaksional tawar-menawar oleh elit yang bermain di balik perkara ini,” katanya.
Trisna menjelaskan, perpindahan metode memilih daftar pemilih tetap atau DPT tak berdasarkan pertimbangan yang jelas dan proporsional. Dalam rapat pleno penetapan dan perpindahan metode pada DPT, kata dia, PPLN justru tunduk pada usulan parpol. “Perilaku ini menandakan bahwa PPLN tak punya perspektif independensi terhadap proses penyelenggaraan pemilu,” ujarnya.
Saat persidangan, kata Trisna, terungkap bahwa PPLN seluruh tak memahami Peraturan KPU sebagai peraturan teknis penyelenggaraan pemilu. Ia pun mengaku masih menyoroti perpindahan DPT dalam metode memilih Pos, dari 3336 menjadi 156367.
“Kecurigaan ini menguat dengan beberapa temuan kami dalam pantauan yang menunjukkan bahwa metode pos merupakan metode dengan kecurangan paling massif karena pengiriman yang tak transparan, tidak ada rasionalitas yang jelas yang diungkap dalam persidangan,” kata dia.
Majelis Hakim PN Jakarta Pusat menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa I Umar Faruk, Terdakwa II Tita Octavia Cahya Rahayu, Terdakwa III Dicky Saputra, Terdakwa IV Aprijon, Terdakwa V Puji Sumarsono, Terdakwa VI A Khalil, dan Terdakwa VII Masduki Khamdan Muchamad dengan pidana masing-masing selama empat bulan.
Ketujuh terdakwa itu terbukti secara sah dan menyakinkan melalukan tindak pidana dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum, memalsukan data dan daftar pemilih baik yang menyuruh, yang melakukan maupun yang turut serta melakukan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 544 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
“Menetapkan lamanya pidana tersebut tak perlu dijalani kecuali apabila di kemudian hari ada keputusan hakim yang menentukan hal lain disebabkan karena terpidana melakukan tindak pidana sebelum masa percobaan selama satu tahun terakhir,” kata Ketua Majelis Hakim Buyung Dwikora di Ruang Sidang PN Jakarta Pusat, Kamis, 21 Maret 2024.
Ketujuh PPLN Kuala Lumpur yang jadi terdakwa dihukum denda masing-masing sebesar Rp 5 juta. “Dengan ketentuan apabila denda tersebut tak dibayar maka dikenakan pidana pengganti berupa pidana kurungan masing-masing selama dua bulan,” katanya.
Pilihan Editor: Tuntut Hukuman Percobaan, Jaksa Singgung Status Mahasiswa S3 Sebagian Anggota PPLN Kuala Lumpur