TEMPO.CO, Medan - Majelis hakim Pengadilan Negeri Medan menjatuhkan vonis mati terhadap Nasrun alias Agam, terdakwa pengedar narkotika jenis sabu-sabu seberat 45 kilogram. Majelis hakim meyakini, terbukti bersalah dan perbuatannya tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan narkoba. "Selain itu, terdakwa lagi menjalankan hukuman yang seharusnya merenungkan bukan melakukan peredaran narkotika dengan jumlah yang besar," kata hakim ketua Eriyanto Siagian saat membacakan putusan di Pengadilan Negeri Medan, Sumatera Utara, Rabu, 24 April 2024.
Selain Nasrun, majelis hakim juga menjatuhkan vonis kepada terdakwa Muhammad Rahmad, Safrizal, Nur Fadli, dan Tgk Mansur. Mereka dinyatakan terlibat dan bersekongkol dengan Nasrun dalam peredaran narkotika tersebut. Merela dijatuhi hukuman seumur hidup karena terbukti membawa barang bukti tersebut ke Lampung. "Sedangkan terdakwa Mahadir Muhammad dihukum selama 20 tahun penjara denda Rp5 miliar subsider satu tahun penjara," kata Eriyanto.
Eriyanto mengatakan keenam terdakwa terbukti dan bersalah melanggar Pasal 114 2 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika juncto Pasal 55 1 ke-1 KHUP, sebagaimana dakwaan primer. Setelah membacakan amar putusan, majelis hakim memberikan waktu berpikir selama tujuh hari kepada jaksa penuntut umum maupun penasihat hukum menerima atau banding terhadap putusan tersebut.
Dalam berkas dakwaan disebutkan, kasus Nasrun CS ini berawal dari penangkapan Luthfi di Bandar Udara Internasional Kualanamu, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, pada 21 September 2023 oleh Polda Sumut. Luthfi mengaku narkotika yang dia bawa berasal dari Aris yang berada di Kota Langsa, Aceh. Kemudian pada 3 Oktober 2023, polisi menangkap Safrizal dan Mahadir Muhammad. Mereka mengaku narkotika yang dibawa akan diantar ke M. Rahmad yang menunggu di Jalan lintas Medan-Banda Aceh, Kecamatan Peureulak Timur, Kabupaten Aceh Timur. Singkatnya, polisi kemudian membekuk M. Rahmad, Tgk Mansur, Mahadir Muhammad dan Nur Fadli.
Selanjutnya 45 kilogram sabu itu akan diantarkan oleh Nur Fadli ke Lampung. Dari pekerjaan itu mereka mendapat imbalan Rp 200 juta. Adapun otak dari transkasi sabu itu adalah Nasrun yang berada di rumah tahanan negara di Sumut.