TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) mewanti-wanti aparat penegak hukum untuk pasang mata dalam pelaksanaan pilkada serentak 2024. Musababnya, anggaran yang digelontorkan mencapai Rp 41 triliun. Apalagi pada medio 2023 marak terjadi korupsi dana hibah pilkada. "Negara berpotensi merugi hingga miliaran rupiah dan integritas pilkada tercoreng," kata peneliti ICW Egi Primayogha dalam keterangan tertulis, Rabu, 31 Juli 2024. "Perlu ada pengawasan yang ketat."
Berdasarkan pemantauan ICW, kasus korupsi yang berkaitan dengan pemilu pada 2023 terdapat 17 kasus. Dari kasus-kasus tersebut sebanyak 11 di antaranya berhubungan dengan korupsi dana hibah pilkada, dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 38,2 miliar. "Pengawasan ketat terhadap anggaran pilkada mutlak untuk dilakukan lantaran pilkada serentak 2024 akan menghabiskan biaya yang tidak sedikit," kata Egi.
Egi mengatakan, tak kurang sekitar Rp 41 triliun anggaran publik akan digelontorkan untuk memilih pemimpin baru di 541 daerah di seluruh Indonesia. Jumlah tersebut naik hampir dua kali lipat dari biaya pilkada sebelumnya yang menghabiskan biaya sebesar Rp 20,4 triliun pada 2020, Rp 15,15 triliun pada 2018, dan Rp 5,9 triliun pada 2017.
Adapun dana hibah pilkada dialokasikan melalui APBD masing-masing daerah. Sesuai ketentuan Pasal 166 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, dinyatakan bahwa pendanaan kegiatan pilkada dibebankan kepada APBD dan dapat didukung oleh APBN. Pendanaan yang berasal dari APBD dituangkan dalam Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) dengan alokasi pendanaan pilkada masing daerah berasal dari tahun anggaran 2023 sebesar 40% dan tahun anggaran 2024 sebesar 60%.
Dilansir dari publikasi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, kata Egi, realisasi NPHD antara Pemda dengan KPUD sudah mencapai 76.9% yaitu senilai total Rp 22,11 triliun dari 541 daerah. Realisasi dana hibah untuk Bawaslu Daerah senilai Rp 6,31 triliun, dan realisasi dana hibah dari pemda untuk TNI sudah disalurkan sebesar Rp 567,43 miliar, dan untuk Polri disalurkan sebesar Rp 1,71 triliun. "Hingga pertengahan Juli 2024, proses realisasi NPHD masih terus berjalan," kata Egi.
Menurut Egi, anggaran publik dalam jumlah sangat besar, selalu rawan untuk disalahgunakan. "Tak lupa bahwa kasus korupsi anggaran publik seringkali melibatkan banyak aktor. Kerentanan ini patut disikapi serius," katanya.
Oleh karena itu, penting untuk mendorong komitmen dan integritas seluruh pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan pilkada termasuk pemerintah daerah, KPU dan Bawaslu di daerah. Selain itu, peran pengawasan dan dorongan transparansi anggaran Pilkada perlu dilakukan oleh aparat penegak hukum, Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), dan publik luas.