TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat hukum dan politik Pieter C Zulkifli dalam analisisnya berjudul “Etika Negara Demokrasi, Membangun Politik, Hukum, dan Ekonomi yang Bermartabat” mengatakan praktik politik sandera dapat merusak institusi penegak hukum. "Alih-alih menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kesetaraan, praktik ini justru menginjak-injak supremasi hukum, menjadikannya hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan pribadi atau kelompok tertentu," kata Pieter dikutip dari Antara, Minggu, 18 Agustus 2024.
Menurut dia, istilah politik sandera merujuk pada penggunaan instrumen hukum atau perkara hukum untuk menekan lawan politik atau pihak yang berseberangan. Ia menilai praktik itu belakangan kerap digunakan dalam percakapan politik di Indonesia.
“Praktik ini bisa terjadi secara terang-terangan atau dilakukan dengan cara yang lebih tersembunyi melalui lobi-lobi di balik layar oleh para elite politik. Politik sandera yang memanfaatkan instrumen hukum sebagai alat tawar telah merusak kinerja institusi penegak hukum,” ujarnya.
Pieter memandang akar masalah korupsi semakin dalam, tertanam pada relasi antara elite politik dan kekuasaan. Ia berpendapat keterlibatan elite dalam praktik korupsi dapat menyandera politik nasional, menghambat pembangunan, dan menjauhkan masyarakat dari cita-cita keadilan sosial.
"Hukum tidak boleh tunduk dan patuh pada kekuasaan politik. Kekuasaan politiklah yang harus tunduk dan patuh pada hukum," ujarnya. Menurut Pieter, inilah sikap dasar hidup bernegara yang benar. Sebab, kekuasaan di mana-mana cenderung korup dan sewenang-wenang tidak peduli siapa pemimpinnya.
Dia juga menyoroti penurunan indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia yang berada di angka 34. Posisi itu menempatkan Indonesia di peringkat 115 dari 180 negara pada 2023. Artinya, keberhasilan penanganan korupsi Indonesia turun dari peringkat 110 pada tahun sebelumnya.
Menurut Pieter, penurunan ranking itu menandakan adanya masalah serius dalam penegakan hukum dan korupsi di Indonesia. Salah satu faktor yang mungkin berkontribusi ialah fenomena politik sandera dalam penanganan kasus korupsi.
Selain itu, Pieter menilai praktik politik sandera juga dapat merusak demokrasi. Sebab praktik tersebut mereduksi supremasi hukum menjadi alat untuk mengamankan kepentingan segelintir elite dan kelompoknya, bukan untuk menegakkan keadilan.
Dia mengatakan politik sandera membuat institusi hukum menjadi tidak berfungsi sebagaimana tujuan dan hakikatnya untuk menegakkan hukum keadilan dan kemanfaatan. Fungsi itu seharusnya untuk seluruh masyarakat, bukan hanya segelintir elite penguasa. "Politik sandera yang dijalankan oleh para penguasa didorong oleh budaya korupsi yang merajalela di kalangan elite partai politik," kata dia.
Secara struktural, bagi Pieter, kehidupan politik di Indonesia sangat rentan terhadap praktik korupsi. Hal ini menjadi bumerang bagi partai politik itu sendiri dan menciptakan ketakutan di kalangan elite politik untuk melawan penguasa.
Untuk itu, dia menyebut negara membutuhkan upaya penyelamatan revolusioner dari pemimpin-pemimpinnya, termasuk para elite hukum dan presiden. "Diperlukan sikap moral yang tegas dari pemimpin untuk membela penegakan hukum dan antikorupsi, agar negeri ini tidak terus dibajak oleh para elite korup dan busuk," kata Pieter.
Pilihan Editor: Jessica Wongso Bebas Bersyarat, Kuasa Hukum Tetap Ajukan PK: Racun Sianida Tidak Ada Dasarnya