TEMPO.CO, Jakarta - Pembangunan fase pertama jalur Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta diprediksi akan mendongkrak harga tanah hingga 20 persen. Kenaikan harga tanah tentu akan memicu meningkatnya harga properti di sepanjang wilayah yang dilalui MRT tersebut.
Prediksi ini dilaporkan konsultan properti global, Knight Frank Asia Pacific, yang melakukan riset tentang dampak koridor transportasi dan sistem angkutan massal perkotaan pada harga rumah. "Sistem transportasi massal dalam kota memiliki dampak yang sangat nyata pada kenaikan harga permukiman lokal," kata Nicholas Holt, Kepala Riset Knight Frank Asia Pacific, dalam rilisnya pada Senin, 23 Juni 2014.
Dalam laporan itu disebutkan wilayah Sudirman dan Thamrin di Jakarta yang berada di utara jalur MRT telah mengalami kenaikan harga tanah sebesar 30-40 persen dari tahun lalu. Pembangunan fase satu MRT sepanjang Sudirman hingga Lebak Bulus diprediksi akan menjadikan Lebak Bulus sebagai kawasan pusat niaga baru di Jakarta. (Baca:PT MRT Rambah Bisnis Properti Tahun Depan)
Dengan rampungnya MRT Jakarta pada 2018 nanti, investasi di bidang properti, terutama ruko, akan meningkat di sepanjang jalur yang dilalui MRT tersebut. Pembangunan infrastruktur ini akan mendongkrak harga properti karena akan meningkatkan konektivitas, akses masyarakat, dan mengurangi waktu perjalanan. (Baca:Ahok: Lahan Fatmawati Akan Dibeli BUMD)
Knight Frank Asia Pacific merilis laporan permukiman Juni 2014 di 13 kota Asia Pasifik. Salah satu temuannya adalah keberadaan koridor transportasi baru atau perubahan sistem transportasi massal akan meningkatkan potensi investasi properti di suatu kota. Kota-kota di Cina menjadi kota yang memiliki rencana pembukaan koridor baru transportasi massa paling banyak hingga 2020. (Baca: Warga Fatmawati Khawatirkan Ganti Rugi Proyek MRT)
MOYANG KASIH DEWIMERDEKA
Terpopuler:
Rapor APBD DKI Merah, Ahok Bela Jokowi
Akil Mochtar Minta Kewarganegaraan Dicabut
Kirim Surat ke Google, Bocah Minta Ayahnya Libur
Bank Dunia: RI Terancam Ledakan Pengangguran
Buku Baru Ungkap 'Perang Dingin' Obama-Clinton