Herman mengenang 58 tahun hidupnya di Kampung Pulo. Ia lahir, besar, dan tua di sana. "Saya enggak tahu persisnya sejak kapan rumah ini ada. Karena saya lahir di sini, orang tua dan kakek saya dari dulu sudah di sini," kata Herman.
Pria kelahiran 1957 itu menuturkan pengalamannya di Kampung Pulo. Kakeknya adalah seorang pedagang di Kampung Melayu. Kampung Melayu yang sekarang padat pertokoan, dulunya merupakan pasar. "Saya dulu biasa jalan kaki dari rumah ini ke pasar ikut Kakek dagang," ujarnya.
Herman yang kini juga berdagang menikah sekitar tahun 80-an, di tanggal yang ia tak bisa ingat. "Istri saya juga orang sini. Pacaran tiga bulan saja habis itu langsung
dikawinin. Itu dulu dia rumahnya di sebelah," katanya sambil menunjuk ke rumah sebelahnya. Usia pemukiman Kampung Pulo yang tua ternyata membuat hampir seluruh warganya paling tidak memiliki hubungan kekerabatan. "Kita mah di sini semua saudara. Tiap tahun pasti ada aja anaknya anu nikah sama anaknya ini. Di Jalan Anwar ini saudara semua," kata Herman.
Jalan Anwar, menurut dia, sudah ada sejak zaman Belanda. "Saya kurang tahu persisnya, tapi ya dulu orang Betawi namanya Haji Anwar yang punya gang ini, terus dipecah-pecah," kata dia.
Berdasarkan Arsip Perpustakaan Nasional, Kampung Pulo merupakan bagian dari Kotapraja Meester Cornelis. Selama empat abad, Meester Cornelis atau yang kini dikenal sebagai Kecamatan Jatinegara adalah salah satu pusat fungsional pertumbuhan kota Jakarta. Daerah ini dilewati kereta api dan banyak pasar.
Kampung Pulo sendiri awalnya adalah hutan. Sebagian wilayahnya dibuka oleh lima bersaudara: Asril, Rihen, Bandan dan dua lagi yang tidak diketahui namanya. Mereka diberi kewenangan oleh pemerintah kolonial sebagai tuan tanah melalui dua surat verponding untuk menarik pajak para pemukim. Meskipun kini tidak memiliki surat, pajak masih tetap dibayarkan oleh pewaris pemukim terdahulu. "Masih bayar kok kita. Itu lho PBB, Pajak Bumi dan Bangunan," kata Herman.
Selanjutnya: Status tanah Kampung Pulo dan Rencana Ali Sadikin