TEMPO.CO, Tangerang - Ratusan bangunan semipermanen bermunculan di desa dan kelurahan sekitar Bandara Soekarno-Hatta menjelang penggusuran perluasan lahan untuk pembangunan runway ketiga. Warga sengaja membangun rumah baru atau disebut “rumah siluman" di atas lahan kosong dan lahan persawahan, serta merenovasi bangunan hingga membuat kontrakan untuk mendapatkan harga ganti rugi yang tinggi.
”Kan harga tanah kosong dengan yang ada bangunannya berbeda, lebih besar yang ada bangunannya,” ujar Sangaji, 55 tahun, warga Kampung Bubulak, Selapajang Jaya, Kecamatan Neglasari, Kota Tangerang, kepada Tempo, Rabu, 16 Desember 2015.
Menurut Sangaji, kini kampungnya semarak dengan kesibukan warga yang bertukang membangun rumah, memperbaiki rumah, dan membuat kontrakan. ”Kalau yang banyak tanah kosong, enak bangunannya bisa banyak, kalau saya lahannya cuma sepetak, jadi dibangun alakadarnya saja,” kata Sangaji.
Pengamatan Tempo di kampung Bubulak ini sudah berdiri banyak bangunan baru. Cara membedakannya cukup gampang, bangunan permanen yang baru dibangun terlihat seadanya berdinding batako dengan semen yang belum begitu mengering, atapnya kebanyakan dari asbes dengan kayu balok penopang atap yang masih terlihat baru. Bangunan seperti ini berdiri di lorong gang sempit, menyempil di antara rumah penduduk, bahkan banyak juga yang mengisi lahan kosong dan persawahan.
Kondisi yang sama juga terlihat di Desa Rawa Rengas, Kecamatan Kosambi, yang jaraknya paling dekat dengan bandara. Di desa ini, warga juga disibukkan dengan kegiatan membangun. Bangunan baru bermunculan dan setiap hari para tukang kebanjiran order.
”Saya sudah enam bulan ini enggak pernah berhenti nukang, selesai di sini, kampung sebelah minta bangun lagi, begitu seterusnya,” kata Nian, 55 tahun, warga Kampung Rawa Jati RT 01 RW 14, Desa Rawa Rengas, Kecamatan Kosambi, yang saat ditemui Tempo sedang membangun rumah tetangganya.
Bagi Nian, banyaknya pekerjaan menukang adalah berkah ia dan keluarganya. Untuk jasa per harinya ia dibayar Rp 120 ribu. ”Kebetulan rumah saya sudah tidak perlu dibangun lagi, sudah full sama bangunannya,” kata Nian, yang telah membangun rumah di atas lahan seluas seratus meter.
Menurut Nian, seperti latah, warga kampung memang sedang kerajinan membangun. Karena dengan membangun rumah baru adalah cara warga setempat untuk mendapatkan ganti rugi yang tinggi atas tanah dan bangunan milik mereka yang akan digusur untuk perluasan Bandara Soekarno-Hatta tersebut. Warga sekitar, belajar dari pengalaman mereka sebelumnya yang sudah dua kali tergusur tapi mendapatkan ganti rugi yang minim. ”Ya ada harapan barulah, kalau nanti kami harus meninggalkan desa kami ini,” kata Rahmawati, 45 tahun, warga Kampung Rawa Jati.
Adapun lahan untuk pembangunan runway tiga, runway empat, dan terminal 4 Bandara Soekarno-Hatta kini sedang dalam proses pembebasan lahan. Saat ini, tim pembebasan perluasan lahan bandara yang terdiri dari Pemerintah Provinsi Banten, Pemerintah Kabupaten Tangerang, Kejaksaan Negeri Tangerang, serta Badan Pertanahan Nasional Provinsi Banten dan Kabupaten Tangerang sedang melakukan sosialisasi kepada lima desa yang terkena pembebasan lahan. Lima desa tersebut berada di Kabupaten Tangerang.
Untuk tahap ini 173,13 hektare lahan dan bangunan di Desa Rawa Burung dan Desa Rawa Rengas di Kosambi; Bojong Renged, Teluknaga, Kabupaten Tangerang; dan Kelurahan Benda, Benda dan Kelurahan Selapajang, Neglasari, Kota Tangerang, akan segera dibebaskan dengan proses ganti rugi lahan dan bangunan.
Sekretaris Perusahaan PT Angkasa Pura II Agus Haryadi mengakui fenomena yang terjadi di sekitar bandara tersebut. ”Memang itu dalam pantauan kami, fenomena ini memang selalu terjadi kalau akan ada pembebasan lahan,” kata Agus. Sayangnya, kata Agus, PT Angkasa Pura II tidak punya kewenangan untuk menegur atau melarang warga yang membangun rumah dengan tujuan mendapatkan untung besar itu. Dia berharap, justru pemerintah daerah yang punya kewenangan bisa bertindak melakukan pencegahan.
JONIANSYAH HARDJONO