TEMPO.CO, Jakarta - Pakar transportasi Darmaningtyas menilai lahan di Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur, seluas 12,6 hektare tak layak dijadikan Terminal Terpadu Pulogebang. Sebab, kendaraan angkutan umum di terminal itu tak mudah diakses.
“Sebab, kalau dijadikan terminal, lokasi itu tidak layak, lebih baik dijadikan sentral perdagangan,” kata Darmaningtyas seusai acara Forum Group Discussion (FGD) bertemakan “Kesiapan dan Transisi Terminal Bus Pulogebang” di Hotel Borobudur, Kelurahan Pasar Baru, Kecamatan Sawah Besar, Jakarta Pusat, Kamis, 23 Februari 2017.
Baca: Jauh dari Akses Angkutan, Terminal Pulogebang Diminta Dikaji Ulang
Menurut Darmaningtyas, pembangunan seperti itu lebih sesuai dijadikan pusat bisnis. Ia berharap pembangunan berfokus pada pengembangan bisnis, tapi dengan tetap memanfaatkan terminal sebagai sarana penunjang. Sebab, penumpang bus mayoritas berasal dari golongan menengah ke bawah yang akan menghemat pengeluaran.
“Tidak akan laku. Kalau sekarang tenant-tenant-nya itu sebagai sarana penunjang terminal, saya harap di balik, tenant-tenant itu utamanya, terminal sebagai penunjang sentral industri. Akhirnya nanti, banyak orang yang ke situ, berarti kan butuh angkutan,” ujar Darmaningtyas.
Darmaningtyas menilai pembangunan Terminal Terpadu Pulogebang tergolong mahal, sehingga harus disubsidi pemerintah. Terminal yang diklaim sebagai terminal terbesar di Asia Tenggara ini memakan biaya Rp 450 miliar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta.
Darmaningtyas menganggap lebih baik pemerintah daerah menyerahkan bisnis bus kepada perusahaan otobus (PO) ketimbang memberi subsidi. “Sesuatu yang menurut saya itu tidak urgent. Malah akan menambah subsidi negara untuk hal yang tidak perlu, karena biaya operasionalnya jauh lebih tinggi dibanding pemasukannya,” tuturnya.
Karena itu, Darmaningtyas menyarankan Terminal Terpadu Pulogebang dijadikan sentral perdagangan di Jakarta Timur sesuai dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW) Jakarta 2010-2030. “Salah satu caranya, pindahkan sebagian aktivitas grosir di Tanah Abang ke Terminal Pulogebang,” ucapnya.
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Andriansyah mengatakan Terminal Terpadu Pulogebang dibangun di atas lahan 12,6 hektare dengan luas bangunan 5,4 hektare. Di sana, ada empat bangunan utama, yakni Gedung A dan Area E (zona pengendapan), Gedung B (zona penumpang yang sudah memiliki tiket atau area keberangkatan), Gedung C (zona perpindahan atau area kedatangan dan kantor), serta Gedung D (halte bus rapid transit atau BRT).
Gedung A digunakan sebagai area istirahat awak bus, parkir bus, dan bengkel dengan luas sekitar 1.000 meter persegi. Gedung B dipakai sebagai area ruang tunggu penumpang dan keberangkatan bus AKAP seluas 2.000 meter persegi. Gedung C merupakan area kedatangan bus AKAP dan bus dalam kota dengan luas 2.900 meter persegi. Sedangkan Gedung D didesain memiliki dua jalur untuk keberangkatan dan kedatangan bus Transjakarta.
Baca juga: Pemerintah Sediakan 26 Bus Pengumpan ke Terminal Pulogebang
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga menyediakan 150 unit tempat bisnis komersial yang terdiri atas 54 unit food court dan 96 kios. “Pemanfaatan kios bekerja sama dengan PD Pasar Jaya dengan sistem penugasan selama tiga bulan untuk menarik penumpang,” ujar Andriansyah.
LANI DIANA | ALI ANWAR