TEMPO.CO, Jakarta – Gubernur DKI Jakarta terpilih, Anies Baswedan, menghadiri peluncuran buku The Grand Old Man, yang menceritakan tentang keteladanan Agus Salim, tokoh pejuang nasional. “Haji Agus Salim kekuatan utamanya pada gagasan dan kata-kata. Diakui oleh semua. Siapa pun yang baca tentang Haji Agus Salim pasti mengakui kekuatan beliau pada ide dan kata-kata,” kata Anies di Keraton Kafe, Jakarta Selatan, Kamis, 1 Juni 2017.
Anies mengungkapkan, saat ini kata-kata dianggap tak penting. Padahal kata-kata juga mengubah perjuangan fisik selama ratusan tahun menjadi pengantar pesan kemerdekaan. “Haji Agus Salim membawanya pada puncak merdeka dan meraih pengakuan dunia internasional. Ini menurut saya kekuatan Agus Salim,” ujarnya.
Buku yang ditulis Haris Priyatna ini menceritakan tentang perjuangan diplomasi pertama Indonesia pada 1947. Agus Salim memimpin delegasi bersama Abdul Rahman Baswedan, kakek Anies Baswedan; Mohamad Rasjidi; dan Nazir Datuk Sutan Pamuntjak, untuk mendapatkan pengakuan secara de jure dari negara lain.
Kisah sejarah yang dibungkus dalam bentuk novel ini mengungkap cerita tentang babak awal pendirian negara Indonesia. Agus Salim bersama anggota delegasi lainnya sukses mendapatkan pengakuan kedaulatan Indonesia untuk pertama kalinya dari Mesir, yang juga berada di bawah pengaruh kolonialisme pada 10 Juni 1947.
Agus Tansyl, cucu Agus Salim, yang hadir dalam peluncuran buku itu mengungkapkan, kondisi pasca-kemerdekaan saat itu masih sangat sulit. Sebab, NKRI, yang baru tumbuh, masih terus diganggu Belanda, yang belum mengikhlaskan Indonesia merdeka. “Segalanya baru. Yang perlu disadari bahwa bangsa kita merdeka dari hasil perjuangan anak bangsa, bukan hadiah dari penjajah,” kata Agus Tansyl.
Menurut Agus Tansyl, diplomasi yang dilakukan Agus Salim dan anggota delegasi lainnya sangat penting agar dunia mengetahui Indonesia sebagai negara yang layak merdeka. Novel tersebut, kata dia, menunjukkan satu penggalan sejarah Indonesia mendapatkan pengakuan internasional dari negara-negara Arab, seperti Mesir, Suriah, dan Libanon.
Ia menuturkan, sulit untuk meyakinkan negara-negara lain untuk mengakui kedaulatan Indonesia. Sebab, Duta Besar Belanda untuk Mesir saat itu berusaha mencegah upaya diplomasi Agus Salim. Ia menilai pelajaran yang bisa dipetik dari cerita itu adalah bangsa Indonesia harus mampu menegakkan kembali harkat dan martabat bangsa di mata internasional.
”Dibutuhkan orang punya semangat perjuangan dan nilai kepahlawanan. Kalau sekarang, kita hanya menjadi duta besar untuk mencari jabatan, pola diplomasi tidak akan berkembang. Justru harus betul-betul perjuangkan diplomasi,” ucapnya.
FRISKI RIANA