TEMPO.CO, Jakarta - Sakit keras, inilah gambaran paling tepat untuk Jakarta saat ini. Demikian banyak penyakit di kota berpenduduk lebih dari 10 juta jiwa ini, mulai dari macet, polusi, pembangunan taman atau tempat publik yang tersendat. Seperti orang penyakitan, Jakarta kian sulit bergerak, bahkan bisa tumbang bila tak menemukan resep yang tepat untuk menyembuhkannya.
Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat pernah mengeluh bahwa membangun kota Jakarta dengan lima tertib sangat susah.
Baca juga: Jakarta Macet, Greater Jakarta Solusinya?
"Bagaimana membikin kota kita ini bersih, tertib. Kita punya lima tertib. Tertib buang sampah, tertib hunian, tertib pkl, tertib lalu lintas, tertib demo. Susahnya setengah mati,"ujarnya di Balai Agung, Jakarta Pusat, 1 Agustus lalu.
Sesungguhnya berbagai resep telah dicoba untuk menjadikan Jakarta sebagai kota yang manusiawi. Namun ibukota Indonesia ini tetap saja kusut dan semrawut, seolah hanya keajaiban yang bisa membuatnya lebih baik. Bagi banyak warga Jakarta, kemrawutan Jakarta amat menjengkelkan. Kota ini harus menanggung beban sebagai pusat pemerintahan, perdagangan, dan industri Indonesia sekaligus. Akibatnya daya dukung kota menurun.
Demikian besar dana telah dikucurkan untuk membangun Jakarta. Bahkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Jakarta jauh lebih besar ketimbang kota-kota lainnya. Mengingat statusnya sebagai etalase utama Indonesia, pilih kasih ini tampaknya belum akan berubah.
Pemberian prioritas sangat tinggi kepada Jakarta tampak dari APBD-nya. Bahkan dengan kota terbesar kedua di Indonesia, Surabaya, APBD Jakarta mencapai 9 kali lipat lebih besar. Tahun lalu, APBD Jakarta adalah Rp 67,1 trilliun, sementara Surabaya hanya Rp 7,9 trilliun. Perbandingan penduduk Jakarta dengan Surabaya adalah 10 juta banding 2,9 juta.
Dengan demikian, suka atau tidak, Jakarta masih akan menjadi magnet raksasa bagi jutaan perantau dari berbagai daerah. Pembangunan infrastuktur di Jakarta yang lebih massal dan cepat dibandingkan kota-kota lain akan memperkuat keyakinan para pemburu pekerjaan bahwa Jakarta adalah kota paling menjanjikan. Mereka tak perduli bahwa Jakarta sesungguhnya sudah lama kedodoran menghadapi melesatnya jumlah penduduk.
Kenyataan ini, sebagaimana kota-kota besar lainnya, karena kapasitas Jakarta untuk mengembangkan diri terbatas. Luas wilayah dan kondisi keuangan negara adalah batasan yang terlalu sulit ditembus. Hal ini menyebabkan Jakarta sering mengalami kesulitan meladeni tingginya laju pertumbuhan penduduk akibat kelahiran dan serbuan perantau meski pembangunan dilakukan 24 jam sehari.
Saat menjenguk kota Seoul, Anies Baswedan, gubernur terpilih dalam pemilihan lalu, mengatakan sangat mengagumi penataan kota Seoul. Anies bertemu Wali Kota Seoul, Woon-Soon Park. Dalam pertemuan itu Anies mengagumi Won dalam melakukan penataan kota tanpa melakukan penggusuran. "Ini yang mau dilakukan Pak Anies, bahwa menata kota tidak dengan meminggirkan suara warga, namun justru mengutamakannya,” kata juru bicara pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Terpilih Anies-Sandi, Naufal Firman Yursak
Dalam kondisi sakit seperti sekarang ini, banyak pakart tata kota yang mengatakan Jakarta jelas membutuhkan kerja sama dengan wilayah di sekitarnya. Jakarta perlu berbagi beban sekaligus keuntungan dengan para tetangganya, yakni kota-kota satelit di sekitarnya.
Situs berita CNN meranking kota-kota yang paling dibenci di dunia dalam sebuah artikelnya. Jakarta, duduk dalam urutan ke tujuh setelah kota Lima, Peru.
Dalam penjelasannya, CNN menyebut kota yang paling 'dibenci' bukan berarti yang terburuk. Namun setidaknya, ketika orang menyebut 10 kota yang paling dibenci di dunia, nama-nama kota itu selalu disebut.
Jakarta, disebut CNN sebagai "Durian Besar"; buah yang berbau menyengat dan butuh 'perjuangan' untuk menikmatinya. Yang paling dipersoalkan, kata CNN, adalah kondisi lalu lintasnya yang macet, polusi, kemiskinan, dan tak ada 'pemandangan' lain selain epidemi mal.
CNN | WULAN | CHITRA | ADVERTORIAL