TEMPO.CO, Depok - Pengadilan Agama Kota Depok mencatat ada 250 pasangan di kota Depok yang mengajukan perceraian setiap bulannya. Dari jumlah itu, hanya 2-3 pasangan yang berhasil diselamatkan dan kembali rukun. Wakil Panitera Pengadilan Agama Kota Depok, Endang Ridwan, mengatakan mereka tetap memberikan mediasi terhadap pasangan yang mengajukan perceraian.
"Dari 250 pasangan yang dimediasi dan kemudian rukun hanya 2-3 pasangan. Kebanyakan langsung cerai," kata Endang, Rabu, 2 Oktober 2013.
Angka perceraian di Kota Depok cenderung mengalami peningkatan tiap tahunnya. Pada tahun 2010, angka perceraian mencapai 1.788 kasus, naik 1.953 kasus di tahun 2011, dan di tahun 2012 ada sekitar 2.784 kasus. Untuk tahun 2013, pengadilan belum merangkum jumlah totalnya, tapi rata-rata ada 250 pasangan tiap bulannya yang mengajukan perceraian di pengadilan.
Biasanya para pasangan itu akan didampingi oleh LBH yang ditunjuk pengadilan atau mereka menyewa pengacaranya sendiri. Pasangan yang mengajukan perceraian ini memiliki masalah yang berbeda-beda. "Tapi rata-rata permasalahan mereka karena suami kurang tanggung jawab," katanya.
Banyak para istri menuntut cerai suaminya lantaran si suami malas bekerja. Dengan begitu, mereka menuntut dengan tuduhan tidak bertanggung jawab. Suami tak bertanggung jawab itu, kata Endang, akan berbuntut pada percekcokan yang terus menerus. "Akhirnya enggak tahan dan pada mengajukan cerai."
Selain faktor ekonomi, faktor gaya hidup yang tinggi di Depok juga sangat mempengaruhi perceraian. Sejak dinobatkan menjadi kota pada 1999, masyarakat Depok cenderung konsumtif. Gaya hidup ini tidak didukung oleh pendapatan per kapita Depok yang hanya Rp 1,1 juta. "Gaya hidup di sini juga sangat mempengaruhi," katanya.