TEMPO.CO, Jakarta - Ratusan warga Pulau Pari, Kepulauan Seribu, membuat petisi untuk mengusir satpam perusahaan PT Bumi Pari Asri karena dianggap telah mengintimidasi masyarakat.
"Warga Pulau Pari diintimidasi dan dilarang memperbaiki rumah atau membangun rumah," ujar pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Rakyat Banten, Karsidi, saat ditemui di Pulau Pari pada Kamis, 9 Maret 2017.
Baca juga: Tolak Privatisasi Pulau Pari, Warga Pasang Bambu Runcing
Karsidi membuat petisi bersama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta dan pemuda Pulau Pari. Mereka kemudian keliling dari rumah ke rumah warga untuk meminta tanda-tangan. Mereka menuntut satpam dan perusahaan hengkang dari Pulau Pari.
Selama ini, perusahaan mengklaim 90 persen luasan Pulau Pari. Menurut dia, 10 persen lahan sebelumnya telah dimiliki Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, masjid, sekolah, dan menara telekomunikasi.
Padahal, tutur Karsidi, tanah itu sebelumnya telah dihuni dan dimiliki warga sejak 1960-an. Warga setempat juga merasa tak pernah menjual tanahnya kepada perusahaan.
Justru perusahaan mengirimkan satpam dan membuat pos jaga untuk mengawasi seluruh Pulau Pari. Mereka datang sejak 2014 dan melakukan intervensi. Satpam setiap hari dua kali mengelilingi pulau tersebut. Mereka menindak setiap warga yang membangun atau memperbaiki rumah.
Perusahaan mengancam akan mempidanakan warga jika tak mengindahkan aturan yang dibuat sepihak tersebut. Warga bernama Edi Priadi, 62 tahun, bahkan sudah mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II Salemba karena hal itu.
Saat ini, pengembang juga menyegel rumah warga bernama Susi dan akan mempidanakan Ketua RW 06 Sulaiman.
Simak juga: Warga Pari Resah, 90 Persen Pulau Dikuasai Perusahaan Swasta
Selain itu, perusahaan melakukan pengukuran tanah warga sepihak tanpa didampingi pemerintah atau Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta Utara. Satpam ikut mengukur tanah warga bersama orang-orang perusahaan. "Status kepemilikan mereka saja belum jelas, sudah main ukur," kata Karsidi.
Warga setempat juga kecewa karena kepolisian dan pemerintah setempat mendiamkan tindakan tersebut. Rencananya, petisi ini juga akan ditembuskan ke pemerintah DKI Jakarta dan Kepulauan Seribu. Mereka meminta keadilan dari pemerintah.
"Tanah itu kami miliki sejak 1900-an, kemudian disertifikasi berupa girik pada 1960-an," ucap Sulaiman.
AVIT HIDAYAT