TEMPO.CO, Jakarta - Pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno diangap belum mampu menyampaikan program dengan rinci dalam debat kandidat terakhir Rabu malam, 12 April 2017, di Bidakara, Jakarta Selatan. Kedua pasangan itu dinilai bermain aman karena khawatir kehilangan suara.
"Keduanya normatif. Mereka sangat sadar ini adalah injury time sebelum pencoblosan 19 April," ujar salah satu panelis debat, Gun Gun Heryanto, kemarin.
Baca:
Sebut Debat Berjalan Baik, Anies: Jangan Lengah Kerja Keras
Dekat Hari Pencoblosan, Tim Ahok-Djarot Gelar Jakarta Bershalawat
Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini mencontohkan saat kedua kandidat ditanya mengenai alotnya hubungan antara eksekutif dan legislatif dalam penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, jawaban dari Anies maupun Basuki belum spesifik memecahkan akar masalah.
Misalnya Basuki, kata Gun, hanya menjawab dengan normatif penyusunan anggaran harus dilakukan secara transparan. Padahal, menurut Gun, yang seharusnya dapat disampaikan adalah bagaimana mengatasi politik transaksional yang kerap terjadi antara Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). "Gimana sih sebenarnya kalau ada politik transaksional antara SKPD dan DPRD? Itu yang belum tersentuh."
Begitu juga pasangan nomor urut tiga Anies-Sandiaga dinilai tak mampu menjelaskan hal tersebut. Saat debat, Anies hanya menjawab akan merangkul dan memperbaiki pola komunikasi dengan DPRD agar penyusunan anggaran berjalan lancar.
Baca juga:
Kritik Debat Pilkada DKI Terakhir Versi Populi Center
Survei Indomatrik: Ahok-Djarot dan Anies-Sandi Bersaing Ketat
"Semua jawaban cari aman dengan menggunakan bahasa halus normatif kepada DRPD," kata Gun.
Jika dibandingkan dengan debat putaran pertama, Gun mengatakan debat Rabu lalu para paslon tak banyak saling serang. Kedua kandidat, kata Gun, sudah tak elaboratif lagi dalam menyampaikan isu-isu yang krusial seperti reklamasi, penggusuran, dan rumah tanpa uang muka. Pada debat putaran pertama sudah membuat polarisasi pemilih. “Makanya mereka menjaga. Karena kalau blunder berpengaruh terhadap elektabilitas."
Panelis lain Yayat Supriatna juga sependapat dengan Gun. Yayat mengatakan para kandidat terlihat lebih luwes mengutarakan pendapat saat debat di putaran pertama dibanding putaran kedua. Hal itu, kata Yayat, karena saat putaran pertama kandidat belum sepenuhnya mengetahui preferensi suara. "Kalau sekarang sebetulnya pemilih sudah terbentuk ke mana arah suaranya. Mereka jaga suara jadi kurang berani ambil risiko," kata dia.
Simak:
Polisi Bandara Gagalkan Perdagangan 5 Perempuan ke Malaysia
Tol Macet, Jasa Marga Siapkan Petugas Jemput Transaksi
Yayat mengatakan para kandidat enggan mengeluarkan pernyataan yang mengundang kontroversi. Bahkan, Yayat menilai Basuki mengeluarkan strategi yang seolah melunak dengan melontarkan permintaan maaf kepada penghuni rumah susun.
Salah satu perwakilan masyarakat penghuni Rumah Susun Jatinegara bertanya mengenai bagaimana kehidupan di rumah susun yang serba kekurangan hingga tak mampu membayar sewa. Basuki menjawabnya dengan permintaan maaf dan berusaha akan membenahi. “Pasangan calon dua kan bilang rumah susun masih kurang, ‘kami minta maaf.’ Strateginya ‘maaf’,” kata Yayat.
Padahal menurut Yayat, jika kedua pasangan calon dapat menjawab secara spesifik, bukan tak mungkin dapat menarik pemilih gamang. "Kalau jawabannya saja tak meyakinkan, bagaimana meyakinkan pemilih yang belum yakin?"
Sekretaris tim pemenangan Anies-Sandiaga, Syarif, membantah pendapat itu. "Anies-Sandiaga cukup menampilkan eksplorasi program," ujar Syarif. Begitupun, juru bicara tim pemenangan Basuki-Djarot, Raja Juli, mengatakan Basuki-Djarot telah menyampaikan seluruh program dengan baik. "Tak ada strategi khusus. Apa adanya saja," kata dia.
DEVYERNIS