TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat sempat mengungkapkan akan kembalinya mantan Kepala Inspektorat Lasro Marbun, 52 tahun, ke pemerintahan Provinsi Jakarta. Lasro sempat dipinjam selama setahun oleh Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara.
Kepala Badan Kepegawaian Daerah DKI Jakarta Agus Suradika mengatakan Lasro akan bekerja di Badan Kepegawaian Daerah sebagai staf senior. Lasro bertanggung jawab untuk membuat analisis hukum bagi kasus kepegawaian di lingkungan pemerintah DKI Jakarta. “Itu sesuai dengan kompetisi beliau,” katanya.
Nama Lasro Marbun mencuat saat kasus pengadaan uninterruptible power supply (UPS) atau alat catu daya listrik pada 2014 senilai Rp 1,2 triliun. Ia lalu dilantik menjadi Kepala Inspektorat. Mantan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok mencopot Lasro pada November 2015 lantaran pengadaan UPS terjadi saat Lasro menjabat Kepala Dinas Pendidikan.
Kepada Tempo, Lasro Marbun mengatakan sudah rindu pada Jakarta. Berikut ini petikan wawancaranya dengan Tempo.
Mengapa Anda kembali ke Jakarta?
Keluarga saya di sini. Istri saya bekerja di Jakarta. Dua anak saya masih kuliah. Sejak menjadi pegawai negeri juga saya di Jakarta. Jadi nilai-nilai itu melekat dan membuat kerinduan yang luar biasa. Saya rindu dinamika Jakarta dan kebiasaannya. Saya menjadi pegawai sejak 1987.
Bagaimana awalnya sampai bisa pindah ke Humbang Hasundutan?
Saya diminta dari sana, lalu disetujui. Itu kampung nenek moyang saya. Ya, minimal saya bisa bermakna bagi daerah asal saya.
Sebelum pindah, Anda dicopot karena kasus pengadaan uninterruptible power supply atau UPS, yang terjadi ketika Anda menjabat Kepala Dinas Pendidikan DKI...
Itu urusan pimpinan.
Sudah tahu Anda akan ditempatkan kembali di mana?
Itu pimpinan yang tahu. Saya ini pekerja, yang diberi amanat oleh rakyat itu pimpinan. Beliau pula yang punya visi dan misi. Pimpinan yang bisa menilai saya.
Apa bedanya bekerja di pemerintah DKI Jakarta dan Pemerintah Kabupaten Humbang Hasundutan?
Di Jakarta itu multikultural maka asas-asas formal, seperti kecepatan, ketepatan, itu sangat dibutuhkan. Kalau di kampung itu homogen dan lebih tentang menumbuhkan kesadaran diri dan kesadaran bersama untuk bergerak. Jadi pendekatan adat istiadat, bahasa yang sederhana, dan tampilan yang bersahaja.
Baca selengkapnya di Koran Tempo.
LINDA HAIRANI