2 Tahun Tragedi Kanjuruhan, Keluarga Korban Belum Mendapatkan Keadilan
Reporter
Abdi Purmono (Kontributor)
Editor
Febriyan
Rabu, 2 Oktober 2024 05:30 WIB
TEMPO.CO, Malang - Keluarga korban Tragedi Kanjuruhan menilai negara belum mampu memberikan keadilan kepada mereka. Meskipun telah berlangsung dua tahun lalu, aktor utama tragedi tersebut masih belum terungkap.
Kartini, salah satu salah satu orangtua korban usaha yang mereka lakukan untuk mencari keadilan dalam dua tahun ini terus mentok. Pada April 2023, misalnya, beberapa keluarga korban bersama tim pendamping hukum ke Jakarta untuk melapor ke Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Markas Besar Polri, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Kejaksaan Agung, serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Saat itu, mereka mendesak agar aparat penegak hukum mengusut tuntas aktor utama Tragedi Kanjuruhan.
Akan tetapi upaya itu tak berbuah hasil. Kartini menyatakan hingga saat laporan mereka seakan tak digubris. ”Sampai sekarang tidak ada tindakannya. Kami keluarga korban masih kecewa dengan penegakan hukum. Keadilan itu ada di mana, kami tidak mendapatkannya,” kata Kartini dalam acara peringatan dua tahun Tragedi Kanjuruhan di Kedai Swara Alam, Desa Kedungpedaringan, Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur, Senin, 30 September 2024.
Contoh lainnya, cerita Kartini, saat mereka beraudiensi dengan DPRD Kabupaten Malang Pada Juni 2023. Saat itu, mereka memohon agar Pintu Tribun 13 Stadion Kanjuruhan tak dibongkar. Keluarga korban menilai Pintu 13 merupakan tempat bersejarah karena di sana banyak korban tewas. Pembongkaran pintu itu dinilai bisa membuat kabur alat bukti tragedi yang menewaskan 135 orang tersebut. Akan tetapi, audiensi itu tak berbuah hasil. PT Waskita Karya selaku kontraktor renovasi stadion itu tetap membongkar Pintu Tribun 13 tersebut.
Pada September 2023, Kartini menyatakan mereka kembali berangkat ke Jakarta untuk membuat laporan ke Bareskrim, Komnas HAM dan LPSK. Namun lagi-lagi laporan itu tak jelas ujungnya.
Selanjutnya, kejanggalan penegakan hukum terhadap 5 aktor lapangan
<!--more-->
Koordinator Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pos Malang, Daniel Siagian, yang juga hadir dalam acara itu menyoroti lemahnya penegakkan hukum terhadap para tersangka Tragedi Kanjuruhan. Proses hukum sejauh ini baru menjerat lima aktor lapangan, yakni Ketua Panitia Pelaksana Pertandingan Arema FC Abdul Haris, Security Officer Arema FC Suko Sutrisno, Komandan Kompi 1 Brimob Polda Jatim AKP Hasdarmawan, Kepala Satuan Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi, dan Kepala Bagian Operasional (Kabagops) Polres Malang Komisaris Wahyu Setyo Pranoto. Sementara satu tersangka lainnya, eks Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru, Akhmad Hadian Lukita, bahkan tak kunjung diseret ke meja hijau.
Daniel menyebut proses hukum terhadap lima aktor lapangan itu penuh kejanggalan. Kejanggalan ini bisa dilihat dari rekonstruksi kejadian 1 Oktober 2022 yang digelar di Lapangan Mapolda Jatim, Surabaya, bukannya di tempat kejadian perkara, yaitu Stadion Kanjuruhan.
Kedua, persidangan kepada kelimanya digelar di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, bukannya di PN Kepanjen, Kabupaten Malang, atau digelar di PN Malang. Ketiga Daniel menyoroti penggunaan pasal ringan dan hukuman rendah yang didapatkan kelimanya.
“Contoh lain kejanggalannya adalah angin yang disalahkan saat di persidangan. Ini jadi pergumulan batin bagi keluarga korban tentang bagaimana sulitnya memperoleh keadilan dari penuntasan kasus tragedi Kanjuruhan. Bansosnya dibanyakin, tapi keadilan secara hukum masih sangat jauh,” kata Daniel.
Pada 16 Maret 2023, PN Surabaya menjatuhi hukuman bagi Abdul haris dan Hasdarmawan masing-masing 1 tahun 6 bulan penjara, serta Suko Sutrisno divonis 1 tahun penjara. Sedangkan Bambang Sidik Achmadi dan Wahyu Setyo Pranoto divonis bebas. Mahkamah Agung (MA) kemudian memvonis Bambang 2 tahun penjara dan Wahyu 2 tahun 6 bulan di tingkat kasasi. MA juga menambah hukuman bagi Abdul Haris 6 bulan sehingga total hukumannya jadi 2 tahun.
Kilas balik Tragedi Kanjuruhan
Tragedi Kanjuruhan pecah usai laga BRI Liga 1 antara Arema FC vs Persebaya Surabaya pada 1 Oktober 2022. Sejumlah supoter tim tuan rumah sempat masuk ke dalam lapangan usai tim kesayangannya mengalami kekalahan dengan skor 2-3.
Aksi suporter tersebut direspon polisi dengan melepaskan tembakan gas air mata. Tak hanya ke lapangan, gas air mata itu juga ditembakkan ke arah tribun yang masih sesak dengan penonton. Alhasil, penonton berdesakan dan berhimpitan di pintu keluar.
Sebanyak 135 orang suporter Arema FC tewas dan ratusan lainnya mengalami luka-luka. Dengan jumlah korban sebanyak itu, Tragedi Kanjuruhan menjadi salah satu pertandingan sepak bola paling berdarah di duna.