TEMPO.CO, Jakarta -Ratusan aktivis lingkungan hidup yang tergabung dalam Gerakan #Ayopelukpohon menyayangkan program Pemerintah DKI Jakarta terkait penataan trotoar dengan cara pemindahan dan penebangan pohon di sepanjang Jalan Sudirman dan Jalan Thamrin.
Gerakan #Ayopelukpohon menilai apa yang direncanakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidaklah optimal, karena alternatifnya masih bisa diajukan. Yaitu penataan pedestrian tanpa penebangan pohon-pohon sama sekali, atau setidaknya minimalisasi pemindahan pohon.
"Ada berbagai aspek lain yang perlu kami sampaikan di sini agar seluruh pemangku kepentingan memahami alasan kami tetap menolak tata cara yang diajukan oleh Pemprov DKI Jakarta itu," kata Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB), Ahmad Safrudin, dalam siaran persnya pada Minggu, 8 Oktober 2017.
Selain KPBB, lembaga lain yang terlibat dalam Gerakan #Ayopelukpohon adalah Koalisi Pejalan Kaki, Thamrin School of Climate Change and Sustainability, WALHI Jakarta, Rujak Center for Urban Studies dan Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA).
Menurut Ahmad Safrudin, pada 22 September 2017 mereka melakukan unjuk rasa dan aksi teatrikal memeluk pohon di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat. Ketika itu mereka mendesak Pemerintah DKI Jakarta membatalkan penebangan dan pemindahan pohon untuk menata pedestrian Sudirman-Thamrin.
Namun, suara mereka tidak didengar. Sejak pekan lalu, puluhan pohon yang ada di jalur cepat Jalan Sudirman sudah ditebang.
Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat juga tetap mencanangkan program #TrotoarKita pada Minggu, 8 Oktober 2017. Menurut Djarot, berdasarkan simulasi perhitungan di setiap 500 meter dari total 6,6 kilometer terdapat 326 pohon dipertahankan dan 266 pohon dipindahkan.
Pernyataan Djarot ini berbeda dengan penjelasan Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah kepada wartawan di Jakarta pada 18 September 2017.
Saat itu, Saefullah menjelaskan bahwa sekitar 3.000 pohon akan dipindahkan terkait proyek restorasi besar-besaran pembangunan trotoar di sepanjang Jalan Jenderal Sudirman-Jalan MH Thamrin.
Pohon-pohon itu akan dipindahkan ke beberapa titik yang berdekatan dengan aset Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, seperti Taman Bersih Manusiawi Berwibawa (BMW) dan kebon bibit milik pemerintah.
"Diupayakan dipelihara itu pohon dan tidak dibuang. Di sepanjang Jalan Thamrin-Sudirman itu ada sekitar 3000-an pohon. Pemindahan pohon-pohon itu dilakukan karena trotoar akan dibuat begitu nyaman bagi pejalan kaki dan sepeda," ujar Saefullah.
Dia memohon maaf kepada masyarakat karena ada ribuan pohon yang akan dilakukan penopingan. Saefullah menargetkan proyek restorasi trotoar yang dinamai 'trotoarku' itu akan selesai pada Juli 2018.
Biaya restorasi trotoar tersebut akan menggunakan anggaran dari sisa uang nilai koefisien lantai bangunan (KLB) Simpang Susun Semanggi sebesar Rp 219 miliar dari PT Keppel Land dan PT Mitra Panca Persada (MPP).
Koordinator Koalisi Pejalan Kaki, Alfred Sitorus menjelaskan enam hal para aktivis menolak kebijakan penataan atau restorasi trotoar oleh Pemerintah Provinsi DKI.
Pertama tidak ada perhitungan yang memadai atas dampak lingkungan dan dampak sosial dari pemindahan pohon tersebut. Menurut mereka, di tempat-tempat yang pohonnya dihilangkan akan mengalami pemburukan mutu udara dan penurunan kenyamanan secara keseluruhan. “Kalaupun pohon akan digantikan, akan butuh waktu yang cukup panjang,” kata Alfred.
Kedua, tidak ada kalkulasi alternatif dari apa yang bisa dilakukan selain memindahkan pohon. Kalkulasi alternatif ini sangat penting untuk dilakukan agar tujuan bisa dicapai dengan proses yang lebih baik.
Ketiga, transparansi terkait projek tersebut dinilai dia sangat buruk. “Tidak seperti banyak pekerjaan Pemprov DKI Jakarta lainnya yang dengan mudah bisa dipantau oleh masyarakat prosesnya, pekerjaan ini terkesan terburu-buru dan banyak sekali hal yang tidak diketahui oleh publik,” kata Ahmad Safrudin.
Keempat, pemindahan pohon merupakan tindakan yang menurunkan fungsi aset (pohon-pohon yang selama ini sudah ada) yang dibiayai pengadaan, penanaman dan pemeliharaannya melalui investasi publik.
Kelima, tidak ada pertimbangan yang matang atas dampak lingkungan dan sosial, serta alternatif yang bisa dipilih, menurut dia, projek ini bisa jadi merupakan pemborosan.
“Pemindahan pohon sendiri membutuhkan biaya yang tidak sedikit, dan belum tentu dilakukan oleh pihak yang memang memberikan jasa terbaik dengan biaya paling efisien,” kata Alfred Sitorus.
Keenam, mereka menilai, minimnya diskusi tentang dampak dan alternatif tindakan yang bisa diambil, ketiadaan konsultasi publik, dan rendahnya transparansi dalam proyek penebangan pohon tersebut
DEWI NURITA