TEMPO.CO, Jakarta - Hingga 20 tahun reformasi, Rani Pramesti belum berani tinggal di Indonesia. Rani, yang baru berusia 12 tahun saat prahara itu terjadi pada Mei 1998 belum bisa melupakan peristiwa tersebut.
Gadis kecil itu tak paham kenapa sang Ibu tiba-tiba memintanya segera mengepak barang-barangnya. Kata Rani, yang ia ingat, kondisi Jakarta sedang rusuh.
“Saya ingat mama bilang 'pack your bag', Mama langsung mengambil ransel saya dan mulai memasukkan baju-baju saya. Saat itu saya mulai menangis karena suasana waktu itu benar-benar tegang, dan saya tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi,” kata Rani kepada Tempo, Senin, 7 Mei 2018.
Rani tak ingat tanggal peristiwa itu terjadi. Yang pasti, sebelum mengepak barang-barangnya, Rani sempat memanjat menara tandon air. Dari atas menara, dia melihat banyak asap-asap hitam mengepul dari berbagai sudut Jakarta.
Baca: 20 Tahun Reformasi: Berjuang Menjaga Halte 12 Mei di Trisakti
Setelah berkemas dengan tergesa-gesa, Rani bersama kedua orang tua dan sang kakak terbang ke Bali untuk mengungsi. Dari sana keluarga Rani memantau kondisi Jakarta. Beberapa pekan usai kerusuhan Mei 1998, Rani dan keluarganya sempat kembali ke rumah.
Namun sang kakak yang saat itu berumur 15 tahun merasa tak aman tinggal di Jakarta. Saat itulah kedua orang tuanya memutuskan mengirim anak-anaknya ke luar negeri.
“Beberapa bulan setelah itu kakak saya dikirim ke Australia, dan menyusul saya satu tahun setelahnya pada 1999,” kata Rani.
Dua puluh tahun setelah peristiwa itu, kini Rani memilih bermukim di Australia dan menjadi seorang seniman, performance maker dan storyteller. Usai kerusuhan Mei 1998, Rani mengatakan belum berani untuk tinggal di Indonesia.
“Saya merasa Indonesia masih belum terlalu aman buat saya,” ujar Rani.
Namun hal itu tak menghalangi Rani bolak-balik Australia dan Indonesia untuk mempromosikan proyek seninya yang berjudul Chinese Whispers. Sebuah proyek seni yang menggabungkan novel gambar dengan penceritaan (story telling).
Baca: 20 Tahun Reformasi, Sumarsih: Sayur Asam Tak Sempat Dimakan Wawan
Lewat Chinese Whispers, Rani ingin membagikan kenangannya tentang kerusuhan Mei di Jakarta.
Proyek seni ini merupakan usahanya untuk menceritakan tentang kejadian Kerusuhan Mei 1998 dari perspektif korban terutama warga keturunan Tionghoa kepada masyarakat Indonesia.
Kisah Rani tersebut adalah satu dari sekian ratus - bahkan ribu - korban kerusuhan Mei 1998. Kisah itu adalah potongan puzzle dari tiga hari penuh kengerian dan teror: Peristiwa Kerusuhan 13-15 Mei 1998.
Penggalan kisah-kisah itu bahkan terdokumentasikan lewat disertasi yang kini telah menjadi buku dengan judul Kekerasan Anti-Tionghoa di Indonesia, 1996-1999. Buku tersebut ditulis oleh Jemma Purdey seorang Indonesianis lulusan Melbourne University yang banyak menulis soal Indonesia.
Tak hanya Rani, kisah teror dan penuh trauma akibat Kerusuhan Mei 1998 juga dialami oleh Christianto Wibisono. Christianto merupakan analis bisnis kondang waktu itu. Ia banyak mengisi seminar dan kuliah terkait ekonomi Indonesia.
Dalam kisahnya, Christian mengaku saat pecah kerusuhan pada 13 Mei 1998, dirinya melihat banyak massa yang turun ke jalan untuk berdemo di banyak tempat di Jakarta. Ia juga mendapat kabar bahwa massa yang beringas akan mendatangi rumah anaknya, Jasmine Wibisono di perumahan Camar Permai, Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara.
"Karena ketakutan mendengar informasi itu, saya meminta Jasmine untuk mengungsi di rumah saya di, kawasan Jalan Kartini, Pasar Baru, Jakarta Pusat," kata Christian kepada Tempo, Sabtu, 28 April 2018.
Christianto Wibisono, seorang analis bisnis terkemuka di Indonesia serta pendiri Pusat Data Bisnis Indonesia, saat ditemui di Apartement Kempinsky, Jakarta, 8 Mei 2018. TEMPO/Muhammad Hidayat
Christian mengatakan khawatir dengan kondisi anaknya. Sebab, dua bulan sebelumnya, Christian mengisahkan, Jamine baru saja melahirkan anaknya yang kedua sedangkan cucunya yang pertama, masih berusia 1,6 tahun.
Keesokan paginya, Christian menyaksikan dari kantornya, Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI), banyak massa yang menjarah dan membakar toko-toko di kawasan Gunung Sahari. Beruntung massa tak menyambangi wilayah rumahnya di Jalan Kartini.
Tanggal 15 Mei 1998, ia mendapati kabar bahwa rumah anaknya di kawasan perumahan Camar Permai ada 80 rumah ludes terbakar. Sedangkan sebanyak 500 rumah lain habis dijarah massa.
Ia juga mendapat kabar, orang-orang dari perumahan Camar Permai yang mengungsi di kawasan Golf Course Pantai Indah Kapuk kesulitan mencari makan dan minuman. Akibatnya, selama tiga hari mereka harus makan dan minum seadanya.
"Barangkali cucu saya bisa jadi korban kalau tidak mengungsi ke rumah saya waktu itu," kata Christian.
Selang sebulan setelah peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Christianto juga turut menyingkir dari Jakarta. Christianto menyingkir dari Jakarta menuju Amerika Serikat bersama keluarganya sejak 11 Juni 1998. Ia diketahui baru pulang ke Jakarta setelah delapan tahun tinggal di Amerika tepatnya pada tahun 2006.
Ia mengatakan memilih menyingkir ke negeri Paman Sam setelah mendapat surat kaleng yang berisi makian dan ancaman secara rasis serta tidak manusiawi. "Di Washington DC saya menjadi seorang lobbyist dengan memanfaatkan jaringan lembaga PDHI yang saya miliki," kata dia.
Dua kisah yang menandai 20 Tahun Reformasi itu adalah rangkaian titik mula runtuhnya Orde Baru, rezim kekuasaan militer yang menopang tonggak kekuasaan waktu itu. Kejadian itu adalah juga peristiwa pengiring bagi munculnya era baru Reformasi.