TEMPO.CO, Jakarta - Musikus yang menjadi terdakwa ujaran kebencian, Ahmad Dhani, mencurigai kasus hukumnya ini sarat dengan kepentingan politik. Pernyataan itu ia sampaikan dalam nota pembelaan (pledoi) di persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin, 17 Desember 2018.
Baca berita sebelumnya:
Dituntut Dua Tahun Penjara, Ahmad Dhani: Ini Balas Dendam
Untuk pledoi itu Dhani memberi judul, ‘Indonesia di Persimpangan Jalan antara Negara Demokrasi dan menjadi Negara Penista Agama’. Adapun kecurigaan itu berdasarkan sejumlah fakta yang ditemui selama kasus ini bergulir. "Polisi atau penyidik meminta maaf (kepada saya, dan mengatakan) dia hanya melakukan tugas dari atasan," kata Dhani di hadapan majelis hakim yang dipimpin Ratmoho.
Selain polisi, kata Dhani, ada juga jaksa yang meminta maaf seraya mengaku bahwa kasus ujaran kebencian itu dilatari kepentingan politis. Namun Dhani menolak menyebutkan nama polisi dan jaksa yang ia maksud. "Tidak bisa saya sebut, itu rahasia," katanya seusai persidangan.
Menurut Dhani, kasusnya ini terlalu dipaksakan. Sebab seorang pakar yang ikut menyusun terbentuknya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) mengatakan, apabila tidak ada subjek hukum yang jelas maka suatu perbuatan tidak dapat dianggap sebagai kasus hukum. "Bukan kami menggurui majelis hakim," kata Dhani.
Baca berita sebelumnya:
Fadli Zon Temani Ahmad Dhani di Sidang Pleidoi Ujaran Kebencian
Dalam persidangan ini Ahmad Dhani didampingi oleh tim kuasa hukum dan Wakil Ketua DPR yang juga politisi Partai Gerindra Fadli Zon. Fadli mengatakan, kehadirannya sebagai bentuk dukungan terhadap Dhani. Ia juga menilai kasus hukum Dhani ini sebagai bentuk ancaman terhadap demokrasi.