TEMPO.CO, Jakarta - Rencana pemerintah DKI mengambil alih pengelolaan air di Jakarta salah satuya didasarkan karena akses air bagi warga ibu kota masih rendah. Sampai saat ini, cakupan akses air bersih baru mencapai 59,4 persen, hanya naik 14,9 persen selama 20 tahun terakhir.
Kondisi tersebut agaknya tergambar dari warga RT 19 Kelurahan Muara Baru. Salah satu warganya, Nurrahman menceritakan kepada Tempo bahwa pipa air dan meteran yang dipasang oleh PT PAM Lyonaisse Jaya (Palyja) tak pernah mengeluarkan air.
Baca: Ambil Alih Pengelolaan Air Jakarta, Anies Serahkan Penuh ke Tim
“Setiap bulan orang PT Palyja datang ke rumah-rumah mengecek meteran. Padahal itu enggak gerak sama sekali. Setetes air pun belum pernah keluar,” kata Nurrahman pada Selasa, 12 Februari 2019. “Lima tahun lalu mereka juga ganti meteran air dengan yg baru. Tapi cuma ganti aja. Air tetap mati.”
Kondisi tersebut terjadi di seluruh rumah di RT itu. Warga setempat pun mencari jalan keluar dengan mengbor untuk mengambil air tanah. Lokasi tempat tinggal yang dekat pantai dan sungai membuat kualitas air di sana buruk. Warga hanya bisa menggali hingga 100 meter dan membuat filter swadaya sehingga air kuning yang agak berbau bisa relatif bening.
Berdasarkan informasi yang diperoleh Tempo, Jakarta Utara dan Jakarta Barat menjadi dua wilayah yang minim akses air bersih. Di Jakarta Utara wilayahnya meliputi Koja, Papanggo, Kali Baru, Semper Timur, Cilincing, Marunda, Rorotan, dan Penjaringan. Sedangkan di Jakarta Barat meliputi Kapuk, Kamal, Tegal Alur, Duri Kosambi, Kembangan, Meruya dan Srengseng.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan bersama Tim Evaluasi Tata Kelola Air Minum DKI Jakarta saat jumpa pers mengenai penghentian swastanisasi air di Balai Kota, Jakarta Pusat, Senin, 11 Februari 2019. TEMPO/M Julnis Firmansyah
Yuliningsih, warga di sekitar Waduk Pluit juga kekurangan air bersih. Demi mencukupi kebutuhan sehari-hari untuk minum dan memasak, setiap hari ia harus membeli air senilai Rp 15 ribu. "Tak ada pilihan," kata dia.
Anggota Tim Evaluasi Tata Kelola Air Minum, Nila Ardhianie membenarkan lokasi-lokasi permukiman yang masih mengalami krisis air di Jakarta. Di wilayah-wilayah tersebut sama sekali belum ada jaringan air bersih. Tim ini dibentuk oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk menghentikan swastanisasi air.
Selain itu, kata Nila, warga masih bergantung pada penjual air tanah yang kualitasnya buruk. “Ibu Kota dan ada perusahaan air besar beroperasi, tapi warganya masih sulit dapat air,” ujarnya.
Baca: Pengambilalihan Pengelolaan Air Jakarta, PAM Jaya Usulkan Hal Ini
Tim evaluasi juga membandingkan pengelolaan air bersih di Jakarta dengan Kota Surabaya. Pengelolaan air di ibu kota Jawa Timur itu berada di tangan badan usaha milik daerah. Cakupan air di kota tersebut sudah menembus angka 90 persen dengan harga Rp 2.900 per meter kubik. Sedangkan di Jakarta harga per meter kubiknya mencapai Rp 8.000.
Hingga berita ini ditulis, PT Palyja dan PT Aetra belum memberi konfirmasi tentang situasi cakupan air terutama di Penjaringan, Jakarta Utara. Akan tetapi, keduanya kompak menyatakan bahwa mereka menunggu ajakan diskusi dari PAM Jaya berkaitan dengan pengambilalihan pengelolaan air Jakarta.
Baca: Penyebab Anies Stop Swastanisasi dalam Pengelolaan Air di Jakarta
"Kami akan bekerja sama mendiskusikan dengan pihak PT PAM Jaya," kata juru bicara PT Palyja Ade Rifelino. Sedangkan Direktur Operasional Aetra Lintong Hutasoit mengatakan masih menunggu ajakan diskusi dan mempelajari solusi pengambilalihan pengelolaan air yang akan dilakukan pemerintah melalui langkah perdata.
Pemerintah DKI Jakarta memutuskan akan mengambil alih pengelolaan ar Jakarta dari Palyja dan Aetra melalui langkah perdata. Ada tiga opsi dalam mekanisme perdata itu, yakni membeli saham perusahaan swasta, pemutusan kontrak, dan mengambil alih sebagian Water Treatment Plan (WTP) atau Instalasi Pengelolaan Air (IPA). Tim Evaluasi Tata Kelola Air Minum menilai opsi terakhir adalah opsi paling aman untuk dijalankan pemerintah demi akses air bersih untuk warganya. PAM Jaya ditugaskan Anies untuk membahas Head of Agreement rencana tersebut.