"Raperdanya tidak boleh ada, SK Wali Kota (anti LGBT) harus dicabut." kata perwakilan Masyarakat Cinta Depok Antarini Arna saat dihubungi Tempo hari ini, Sabtu, 20 Juli 3019.
Dia menerangkan bahwa anti kekerasan diartikan sebagai mencegah kekerasan terjadi dan merespons jika kekerasan terjadi. "Kalau anti LGBT maksudnya gimana ya? Karena dalam LGBT itu semua adalah manusia."
Tujuh fraksi di DPRD Kota Depok telah menandatangani pembentukan Perda Anti LGBT. Tapi, Pemerintah Kota Depok mengatakan sudah terlambat untuk melakukan pembahasannya pada 2019. "Nanti bisa diusulkan tahun depan," ujar Wali Kota Depok Muhammad Idris di Gedung DPRD Depok pada Jumat, 19 Juli 2019.
Menurut Antarini, kalau berbicara dalam perspektif hak asasi manusia (HAM) pastinya tidak sejalan dengan mereka yang mengodok Raperda Anti LGBT yang menggunakan sudut padang agama. Ia menjelaskan bahwa HAM mengenal prinsip non-diskriminasi dan kesetaraan.
"Kalau dilihat dari kedua prinsip itu sudah jelas Pemkot dan DPRD depok melanggar," ucap dia.
Melalui aturan snti LGBT, Antarini menerangkan, Pemkot Depok tidak mengikuti prinsip-prinsip pembangunan berbasis HAM atau human rights based approach to development. Perda itu tidak selaras dengan sustainable development goals yang menjanjikan pembangunan tanpa meninggalkan seorang atau sekelompok orang (no one left behind).
"Kota depok apakah akan menyimpangi komitmen pemerintah terhadap pembangunan berbasis hak asasi manusia dan sustainable development goals? Kalau ini kota di Indonesia, pemerintahannya enggak boleh menyimpang dari dua hal itu."
Antarini juga mempertanyakan perspektif ketahanan keluarga yang menjadi dalih pembentukan Raperda Anti LGBT di Depok. Menurut dia, bagaimana keluarga akan bertahan dalam situasi yang aman dan sejahtera jika pilihan-pilihan individu dalam keluarga tersebut tidak dihargai. "(Tak menghargai pilihan individu) Itu hanya ada dalam keluarga yang otoriter," ucapnya.