TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Subdirektorat Pengendalian Konten Internet Direktorat Pengendalian Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informasi, Anthonius Malau mengatakan instansinya telah berkoordinasi dengan pengembang aplikasi game online Hago terkait pengungkapan kasus pornografi anak. Menurut dia, pemerintah telah mengajukan beberapa permintaan kepada Hago agar kasus serupa tidak terulang.
"Jadi apikasi itu sekarang ketika orang meminta nomor handphone otomatis tidak dapat dilakukan dan terblokir oleh sistem permainan Hago, dan mereka memblokir pengiriman gambar," kata Anthonius di Polda Metro Jaya, Senin, 29 Juli 2019.
Menurut Anthonius, perusahaan yang membawahi aplikasi game online Hago sama dengan aplikasi live video streaming BIGO. Permintaan kementerian, kata dia, mulai dipenuhi Hago sejak Sabtu, 27 Juli lalu.
Dalam upaya pemberantasan pornografi online, Anthonius mengklaim kementeriannya telah memblokir satu juta website sampai Juni lalu. Kementerian, kata dia, juga memblokir rata-rata 10 sampai 15 ribu website dan konten mengandung pornografi setiap bulan.
Namun, Anthonius juga mengimbau pentingnya peran orang tua agar anak tidak terjerumus dalam pornografi, apalagi sampai menjadi korban. Dia meminta orang tua mengawasi anak-anak saat bermain game online.
"Jadi kalau anak kita maen game, kamu maen sama siapa, bila perlu datangkan temenmu ke rumah. Jangan-jangan nanti ngakunya 12 tahun enggak tahunya 71 tahun gitu," kata Anthonius.
Direktorat Kriminal Khusus Polda Metro Jaya sebelumnya menangkap pelaku tindak pidana pornografi anak berinisial AAP alias PD alias Defan, 27 tahun di Bekasi. Pengungkapan kasus ini bermula dari laporan orang tua seorang anak berinisial RAP, 9 tahun pada 27 Juni lalu. Si anak mengaku mengalami pemaksaan untuk melakukan video call sex atau VCS oleh pelaku.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Komisiaris Besar Iwan Kurniawan menjelaskan kasus bermula saat korban bergabung dalam akun game online Hago yang dibuat oleh pelaku. Dalam akun itu, peserta dimungkinkan untuk bermain memainkan game online secara bersama. Pelaku mewajibkan para pemainnya untuk memberikan identitas dan foto.
Dati data-data yang terkumpul, pelaku kemudian membidik korbannya yang rata-rata anak perempuan usia dibawah 15 tahun. Melalui aplikasi itu, pelaku melakukan perkenalan dengan korbannya.
Iwan mengatakan, percakapan antara pelaku dan korban lantas meningkat dengan menggunakan aplikasi perpesanan Whatsapp. Sampai akhirnya, pelaku mampu menyuruh korban untuk melakukan VCS. "Korban bisa membuka pakaian, kemudian menunjukkan kemaluannya dan juga mengajak korban untuk masturbasi," ujarnya.
Menurut Iwan, pelaku merekam aktivitas tersebut tanpa sepengetahuan korbannya. Dengan modal rekaman itu, pelaku mampu memaksa korban untuk terus menerus melakukan tindakan senonoh.
Atas perbuatannya, tersangka kasus pornografi anak itu dijerat dengan Pasal 27 ayat 1 juncto Pasal 45 ayat 1 juncto Pasal 52 ayat 1 dan atau Pasal 29 juncto Pasal 45B Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 11 Tahun 2008 tentang ITE dan atau Pasal 76E Juncto pasal 82 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan Atas Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.