TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah DKI Jakarta telah disarankan untuk mengawasi konsumsi kerang hijau dari kawasan Teluk Jakarta sejak 2004 lalu. Sebabnya, kandungan logam beracun dan berbahaya akibat pencemaran berat di kawasan itu.
"Kadar konsentrasi logam berat di dalam kerang itu cukup tinggi sehingga tidak layak dikonsumsi lagi," kata Profesor Etty Riani, Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Keluatan di IPB University, Minggu 13 Oktober 2019.
Etty mengutip hasil penelitiannya pada 2000 tentang kerang hijau di Teluk Jakarta dilihat dari kandungan logam berat yang meningkat dari tahun ke tahun. Penelitian tersebut kembali dilanjutkan pada 2004 melalui pendanaan dari Bappeda DKI Jakarta.
Dari hasil penelitian di Teluk Jakarta tersebut ditemukan kerang hijau mengandung cukup banyak logam berat di dalamnya seperti merkuri (Hg), kadmium (Cd), timbal (Pb), krom (Cr) dan timah (Sn). Hewan yang pasif diam di dasar perairan ini memang memiliki kemampuan menangkap logam berat.
Kerang hijau tak memiliki organ hati untuk menghancurkan benda asing, termasuk racun yang masuk ke dalam tubuhnya. Akibatnya semua benda asing ditampung di dalam dagingnya.
Etty menerangkan, penelitian dilakukan dengan mengukur kadar kandungan logam berat kerang hijau di tiga lokasi. Ketiganya adalah stasiun 1 di peraian berjalan 1.000 meter dari pantai dengan suhu terendah, stasiun 2 jarak 2.000 meter, dan stasiun 3 jarak 3.000 meter sampai ke ke Pulau Onrust.
Hasilnya didapati tingkat pencemaran yang cukup tinggi dan jauh. Kandungan merkuri (Hg) dalam kerang hijau, misalnya, sebesar 74,6 ppm di stasiun 1, sebesar 48,4 ppm di stasiun 2, dan sebesar 66,4 ppm di stasiun 3. Adapun timbal di stasiun 1 sebesar 24,0 ppm, stasiun 2 sebesar 22,8 ppm, dan stasiun 3 sebesar 21 ppm. Sedangkan Kadmium (Cd) berturut-turut 4,6 ppm, 4 ppm, dan 3,00 ppm.
Bandingkan dengan nilai ambang batas aman merkuri untuk produk makanan dan minuman berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan yang menetapkan batas maksimum cemaran mikroba dan kimia dalam makanan, yang berkisar antara 0,01-1,0 ppm. Sedangkan konsentrasi maksimum dalam air minum 0,001 mg/l diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 492/Menkes/Per/IV/2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum.
Kerang Hijau di Pasar Muara Angke, Jakarta Utara, yang diklaim pedagang berasal dari Teluk Banten sehingga lebih layak dikonsumsi. Tempo/Mediyana Aditama Winata
"Jadi kalau mau kerang hijau ya ambilah dari tempat lain, kerang hijau yang dibudidayakan di tempat lain, jangan dari Teluk Jakarta," kata Etty yang juga peneliti dari Laboratorium Ekobiologi dan Konservasi itu.
Sebelumnya, Manajer Konservasi Taman Impian Jaya Ancol Yus Anggoro Saputra juga memperingatkan masyarakat untuk tidak mengkonsumsi kerang hijau. Dia menyampaikan itu saat bersama 105 sukarelawan menyebarkan 1 ton kulit kerang hijau di pantai Ancol untuk kepentingan menyerap limbah.
Yus menjelaskan, 1 kilogram kerang hijau mampu menjernihkan 10 liter air yang keruh hanya dalam waktu 1 jam. Hal ini sangat dibutuhkan untuk mengatasi polusi di laut Jakarta. "Bulan Maret kami sudah sebar 600 kilogram, hasilnya kondisi air semakin baik dan muncul beberapa biota di laut Ancol," kata Yus.