TEMPO.CO, Jakarta - Satu terdakwa kepemilikan senjata api ilegal dalam kerusuhan 22 Mei lalu, Helmi Kurniawan alias Iwan, mengungkap perintah dari Kivlan Zen untuk membeli senjata. Iwan lalu membeli senjata dengan uang Rp145 juta pemberian mantan Kepala Staf Kostrad berpangkat mayjen itu.
"Jadi yang saya terima Rp145 juta itulah yang saya gunakan untuk membeli senjata," kata Iwan saat bersaksi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis, 31 Oktober 2019.
Iwan dihadirkan sebagai saksi memberatkan untuk terdakwa politikus PPP Habil Marati dalam perkara yang sama. Habil, Iwan, dan Kivlan sama-sama terseret perkara kepemilikan senjata api ilegal. Jaksa mendakwa Habil sebagai penyedia dana pembelian senjata tersebut.
Menurut Iwan, Kivlan memintanya membeli senjata untuk bersiap menghadapi kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI). Merasa yunior di dunia militer, Iwan mengaku menurut. "Saya percaya penuh dengan mantan pimpinan senior saya," ucap dia.
Karena itulah, Iwan bertemu Kivlan untuk bersama menukarkan uang 15 ribu dolar Singapura ke jasa penukaran uang atau money changer. Uang itu, menurut Iwan, adalah dana untuk membeli senjata api.
Iwan kemudian memegang dana segar Rp151,5 juta yang merupakan hasil tukar tersebut. Sedang Kivlan mengambil Rp6,5 juta untuk membayar upah staf. Dengan begitu, Iwan memiliki modal Rp145 juta guna membeli senjata api.
Dengan uang itu Iwan memesan sepucuk senjata kaliber 38 dan dua pucuk senjata laras pendek. "Menurut keterangan (Kivlan), itu uang dari Habil Marati," kata eks anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) itu.
Tersangka kasus makar dan kepemilikan senjata api ilegal, Habil Marati, sebelumnya membantah memberikan uang sebesar Sing$ 15 ribu kepada Kivlan Zen untuk membeli senjata api. Habil menyebut hanya menyerahkan Sing$ 4 ribu dan Rp 50 juta secara bertahap.
Menurutnya pula, Kivlan meminta Rp 50 juta untuk survei bahaya bangkitnya komunis, kegiatan supersemar dan pengkajian kembali Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. "Saya tidak pernah memberikan 15 ribu dolar kepada Kivlan. Norak itu, bohong itu," kata Habil Marati saat ditemui di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa, 10 September 2019.