TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak mengatakan banjir di DKI Jakarta dan sekitarnya disebabkan karena terjadinya krisis iklim. Menurut dia, terdapat perubahan pergerakan curah hujan dalam sepuluh tahun terakhir. Frekuensi curah hujan di atas ratusan mm per hari semakin meningkat namun intervalnya lebih singkat. Rekor curah hujan tertinggi di Ibu Kota tepatnya di kawasan Halim, Jakarta Timur pada awal tahun 2020 yang mencapai 377 mm per hari merupakan salah satu contohnya.
"Di Jakarta, sebenarnya rata-rata curah hujan hanya 20 mm per hari," ujar Leonard di kantor LBH Jakarta pada Senin, 6 Januari 2020.
Karena meningkatnya frekuensi hujan ekstrem, Leonard mengatakan bahwa siklus 10 tahunan atau 5 tahunan tak lagi relevan. Hujan deras berpotensi banjir itu akan lebih sering dialami Jakarta dan dunia. "Kita harus lihat ini sudah menuju kenormalan baru," kata dia.
Menurut dia, meningkatnya curah hujan ekstrem dalam interval yang singkat merupakan salah satu indikator kuat terjadinya krisis iklim. Krisis tersebut mengarah pada sebab utamanya yakni pemanasan global.
Secara global, Leonard menilai negara-negara dunia penghasil emisi tak memiliki komitmen yang kuat untuk menguranginya. Terbukti kata dia, dari hasil mengecewakan di Konferensi Tingkat Tinggi Persatun Bangsa-Bangsa untuk perubahan iklim yang digelar di Madrid, Spanyol pada Desember 2019.
"Termasuk Indonesia. Padahal kita masuk dalam 10 besar negara penghasil emisi karbon," kata dia.
Kondisi ini disebut sangat mengkhawatirkan. Leonard mengatakan waktu yang tersedia bagi bumi melakukan perubahan fundamental menekan pemanasan global tidak melebihi 1,5 derajat celsius hanya tinggal sepuluh tahun atau pada tahun 2030 mendatang. Saat ini, pemanasan global berada di angka 1,1 derajat celsius.
"Jadi sebenarnya Januari 2020 ini kita memasuki dekade penting untuk melakukan perubahan," kata dia.
Jika tak ada komitmen serius hingga 2030, Leonard mengatakan bahwa pemanasan global akan mencapai 3 sampai 4 derajat celsius. Beberapa akibat yang akan diterima dunia adalah curah hujan ekstrem akan semakin sering terjadi. Selain itu, air dari es di Kutub Selatan dan Utara yang meleleh akan menghampiri daratan dunia, termasuk Teluk Jakarta.
Di Indonesia, Leonard mengatakan ada dua kegiatan penyebab krisis iklim yang paling sering dilakukan yaitu konsumsi batu bara secara besar-besaran dan deforestasi. "Pemerintah masih abai soal ini," kata dia.