TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Transportasi Kota Jakarta atau DTKJ mengingatkan manajemen PT Transjakarta soal target jarak tempuh 100 kilometer untuk pengemudi bus. Menurut DTKJ seharusnya target ini dievaluasi karena sistem ini membuat pengemudi tidak memiliki jiwa melayani namun hanya mengejar waktu.
Akibatnya, jika mengejar waktu untuk memenuhi target tersebut berpotensi menimbulkan faktor tergesa-gesa bagi pengemudi yang dikhawatirkan memicu kecelakaan Transjakarta.
"Harusnya pengemudi berprestasi mendapatkan penghargaan dari manajemen, jadi bukan berbasis sitem target tempuh 100 kilometer. Ini harus dievaluasi," kata Ketua Komisi Kelaikan dan Keselamatan DTKJ Prayudi dalam diskusi soal keselamatan Transjakarta di Jakarta, Rabu, 9 Februari 2022.
DTKJ mencatat sepanjang 2021 terjadi 508 kecelakaan yang melibatkan perusahaan jasa transportasi BUMD DKI Jakarta itu.
Kecelakaan paling banyak terjadi pada Januari 2021 mencapai 75 kali dan pada Maret 2021 mencapai 72 kali kejadian.
Meski selama bulan ke bulan dalam 2021 jumlah kecelakaan semakin menurun, namun tingkat fatalitas makin serius dengan adanya korban jiwa yang terjadi pada Desember 2021.
“Terakhir adalah pada Desember 2021 yang mengakibatkan korban meninggal tiga orang langsung. Ini menunjukkan kecelakaan ini semakin serius dan harus ditangani, segera diantisipasi,” katanya.
Dia menambahkan selama 2021, kecelakaan TransJakarta paling banyak dialami operator PPD sebanyak 34 persen, Mayasari 32 persen, Steady Safe (16), Kopaja (13), Trans Swadaya (3), Pahala Kencana dan Bianglala masing-masing satu persen.
Selain soal target 100 kilometer, DTKJ memberikan catatan khusus kepada manajemen operasional untuk mitigasi permasalahan di TransJakarta di antaranya tidak adanya divisi khusus setingkat direksi untuk membina keselamatan pengemudi.
"Tidak adanya rencana operasi (renop) dan spesialisasi jalur sehingga pengemudi tidak menguasai lintasan jalur, tidak memiliki catatan kesehatan pengemudi sebelum bertugas, dan tidak memiliki klinik kesehatan khusus pengemudi," kata Prayudi membeberkan sejumlah catatan.
Selanjutnya tidak ada cek unit untuk memastikan kesiapan kondisi pengemudi dan armada termasuk basis data serta tidak tersedianya standar operasional prosedur (SOP) yang fokus pada keselamatan.
Selain kepada manajemen, DTKJ juga memberikan catatan menyangkut prasarana di antaranya tersedianya pemandu pada selter untuk memastikan keselamatan penumpang.
Kemudian untuk mengantisipasi kelelahan dan kelalaian pengemudi perlu juga disediakan tempat istirahat atau toilet di selter.
Sebelumnya, Prayudi mengatakan pihaknya menduga salah satu penyebab maraknya kecelakan bus Transjakarta karena postur tubuh pengemudi yang tidak cocok dengan spesifikasi bus. Menurut dia, bus yang digunakan Transjakarta saat ini dirancang untuk pasar Eropa, bukan Asia.
"Postur tubuh jadi salah satu penyebab tabrakan pos polantas. Jadi ada area blank spot dan membuat pengemudi tidak melihat secara keseluruhan. Ini yang mengakibatkan pengemudi menabrak separator, motor," ujar Prayudi di Menteng, Jakarta Pusat, Rabu, 29 Desember 2021.
Hal ini menjadi salah satu rekomendasi DKTJ kepada pihak Transjakarta untuk memodifikasi kabin bus agar pengemudi bisa mengatasi blank spot. Soal opsi penambahan CCTV agar blank spot dapat teratasi, DKTJ tidak merekomendasikannya.
"Kalau terlalu banyak CCTV, jadi terlalu banyak beban untuk pengemudi," kata Ketua Komisi Penelitian dan Pengembangan DKTJ Leksmono Suryo Putranto.
Baca juga: DTKJ Sebut Transjakarta Transportasi Umum Paling Banyak Insiden, MRT Terbaik