Terkait relokasi, Eman Sulaeman, Manager Pembebasan Lahan PT Agung Sedayu mengakui, relokasi telah mereka lakukan untuk kampung-kampung yang secara desain masuk dalam proyek pengembangan PIK 2. "Enggak bisa menghindari ada kampung-kampung secara desain masuk, kami relokasi keluar. Kami siapkan lahan dan untuk bangunan kami berikan kompensasi dan kami pindahkan dengan sistem kluster," kata Eman.
Relokasi, kata dia, telah mereka lakukan untuk warga desa yang terdampak langsung oleh proyek Agung Sedayu. Diantaranya desa Garapan. "400 keluarga sudah kami relokasi ke kampung Gaga, jadi kampung Gaga itu kini dihuni oleh warga asli dan pindahan kampung lainnya," kata Eman.
Relokasi, kata Eman, dilakukan dengan cara pengembang menyiapkan lahan hunian baru. Bangunan warga yang lama akan dibayar pengembang. "Dan warga membangun kembali rumah di lahan yang telah kami siapkan," ujarnya.
Menurut Eman, kampung Gaga tidak masuk dalam rencana relokasi karena tidak masuk dalam desain pengembangan Agung Sedayu. "Kampung Gaga justru menjadi tempat relokasi warga dari kampung lain."
Namun, menurut warga, relokasi itu sama sekali tidak menguntungkan mereka. "Bangunan rumah kami dihargai murah, tidak sebanding ujung-ujungnya kami nombok untuk biaya bangun rumah baru," kata Asep Suryadi, warga Kampung Gaga Wetan.
Asep dan keluarganya pindahan dari Kampung Garapan. Rumahnya seluas 70 meter hanya dihargai Rp 110 juta. "Sementara saya bangun rumah di kampung Gaga Rp 130 juta," ujarnya.
"Dan setelah dia pindah, kampung Gaga malah kebanjiran."
Banjir di kampung Gaga sudah terjadi sejak Desember 2021 lalu dan sampai saat ini belum juga surut. Ada 200 kepala keluarga yang terdampak banjir akibat curah hujan tinggi.
Pantauan Tempo di lokasi Kamis siang 17 Februari, kampung Kulon kondisinya sangat parah. Puluhan rumah warga masih terendam banjir setinggi 30-60 sentimeter. Air yang kotor dan bau merendam bagian dalam dan luar rumah warga. "Kami memilih bertahan karena tidak ada tempat untuk mengungsi," kata Satah, 75 tahun, warga kampung Gaga Kulon.
Dia dan 40 warga lainnya harus bertahan hidup di tengah kepungan banjir. Air setinggi sekitar satu meter menggenangi kawasan RT 01, RW 02, tidak hanya jalan dan lingkungan, air juga masuk ke rumah mereka. "Sudah tiga bulan seperti ini," ujarnya.
Satah, tinggal bersama enam anggota keluarganya yang memilih menetap di rumah yang terendam banjir itu. "Kami hanya bisa bertahan, lantai rumah sudah tidak bisa ditinggikan, jadi kami buat balai-balai saja untuk tempat duduk dan tidur," kata buruh tani ini.
Soal penyakit kulit, kata Satah, sudah tidak mereka hiraukan lagi. "Yang kami khawatirkan kalo ada ular berbisa dan banjir semakin merusak rumah kami," ujarnya.
Sementara banjir di kampung Gaga Wetan sudah berangsur surut karena sedang tidak hujan. Air hanya mengenangi jalan masuk perkampungan itu. "Kalau hujan deras turun ya air menggenang dan masuk rumah," kata Yeni Damayanti, 30 tahun.
Baca juga: PT Agung Sedayu Bantah Banjir di Kampung Gaga karena Proyek PIK 2
JONIANSYAH HARDJONO