TEMPO.CO, Jakarta - Pakar politik dari Indikator Politik Indonesia Bawono Kumoro menanggapi isu duet Puan Maharani dan Anies Baswedan dalam Pilpres 2024 mendatang. Menurut Bawono, duet itu adalah strategi Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDIP) untuk mengerek elektabilitas Puan.
Bawono menilai, langkah Puan yang membuka komunikasi politik dengan Anies disebabkan elektabilitasnya yang cenderung stagnan sehingga mencari pasangan calon yang berpotensi menang.
“Beberapa hasil survei memang memperlihatkan elektabilitas Puan yang cenderung berputar di atas satu persen, sehingga Puan mencari cara untuk mengerek elektabilitasnya, tak lain dengan peluang duet dengan Anies,” kata Bawono kepada Tempo, 30 Maret 2022.
Dalam berbagai jajak pendapat lembaga survei, diketahui Anies Baswedan masuk ke dalam tiga besar bakal calon presiden yang populer, mengekor Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto. Namun Anies tidak memiliki basis politik yang kuat meski elektabilitas yang tinggi.
Ketua DPR RI Puan Maharani
Baca Juga:
“Kelemahan dari bakal calon non-partai adalah basis politiknya yang lemah, meski elektabilitasnya tinggi. Sebaliknya, Puan memiliki basis politik yang kuat tetapi elektabilitas yang rendah,” ujarnya.
Langkah Puan ini tentu bukan dilakukan secara spontan melainkan berdasarkan pertimbangan matang. Dua bakal calon lain, Prabowo dan Ganjar, tidak mungkin bersanding dengan Puan.
“Prabowo adalah tokoh lama sedangkan Ganjar bersaing ketat dengan Puan di internal PDIP,” paparnya.
Meski Prabowo memiliki elektabilitas tertinggi, dia adalah tokoh lama yang elektabilitasnya semakin menurun. Bawono merujuk pada riwayat elektabilitas sejak Pilpres 2019 ketika Prabowo bersanding dengan Sandiaga Uno yang meraup 40 persen suara, tetapi saat ini elektabilitas Prabowo hanya 20 sampai 30 persen.
“Penurunan ini cukup jauh,” ujar Bawono.
Menyandingkan Puan dengan Ganjar akan menjadi sesuatu yang ‘kikuk’ sebab keduanya terlibat persaingan di dalam tubuh PDIP sendiri.
Peluang memasangkan Puan dengan Anies juga mendapat dukungan dari elit PDIP. Salah satunya diutarakan Effendi Muara Sakti Simbolon, yang secara terang-terangan mengusulkan duet Anies-Puan pada akhir Mei tahun lalu.
Peluang ini kembali dilontarkan oleh Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto bahwa Puan biasa membuka dialog dengan siapa pun tokoh, termasuk Anies Baswedan. Dialog tersebut, katanya, lantaran Puan dan Anies dinilai saling terhubung dalam perannya masing-masing sebagai pejabat publik.
Dari sisi Anies, Bawono menilai Gubernur DKI itu sebagai tokoh yang terbuka dengan komunikasi politik. Masalahnya adalah, seperti yang dihadapi bakal calon non-partai, basis politiknya lemah, meski Anies lekat dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
“Saya kira Anies terbuka saja dan dia dalam posisi pasif menerima siapa saja calon pendamping yang diusung partai nanti,” kata Bawono.
Akan tetapi, Anies pun melibat bakal pendampingnya nanti agar memiliki elektabilitas yang baik agar jangan sampai tidak berkontribusi pada pemenangan pasangan calon. Yang jadi pekerjaan rumah bagi PDIP dan PKS adalah bagaimana memberikan pemahaman kepada konstituen untuk memasangkan duet ini.
Seperti diketahui PDIP dan PKS seringkali diposisikan pada kubu yang berseberangan, di mana PDIP bercorak nasionalis dan PKS bercorak Islamis. Hal tersebut kentara pada Pilkada DKI Jakarta 2017.
“Tantangannya adalah bagaimana memberikan pemahaman kepada konstituen masing-masing bahwa duet Anies - Puan dan koalisi ini punya prospek menang dan menguntungkan bagi masing-masing partai,” ujarnya.
Baca juga: Anies Baswedan Minta Anak Buah Rancang Program yang tidak Bisa Difoto