TEMPO.CO, Jakarta - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mendesak agar penyidikan terhadap tindak pidana obstruction of justice para anggota Polri dalam kasus pembunuhan Brigadir J harus terus berjalan. Direktur Eksekutif ICJR Erasmus A.T. Napitupulu menyerukan agar proses hukum tidak hanya berhenti sampai sidang dan sanksi etik, melainkan hingga proses pidana terhadap semua pelaku.
"Pasal 221 KUHP telah secara jelas mengatur ancaman pidana terhadap pihak-pihak yang menghilangkan atau menyembunyikan bukti-bukti dengan maksud supaya tidak dapat diperiksa untuk kepentingan penegakan hukum," kata Erasmus dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 10 Agustus 2022.
Hukuman terhadap pelaku yang menjabat sebagai aparat penegak hukum seharusnya bisa diperberat dibanding jika pelakunya warga sipil. Sebab aparat memiliki kewenangan besar yang kemudian disalahgunakan.
Menurutnya, kasus pembunuhan ajudan Irjen Ferdy Sambo ini bisa menjadi uji coba terhadap penggunaan pasal 221 KUHP tentang obstruction of justice bagi pelaku yang justru berasal dari aparat penegak hukum.
"Meski kedepannya ketentuan pidana terhadap obstruction of justice juga masih perlu diperkuat, khususnya dalam upaya pembaruan hukum pidana melalui RKUHP yang prosesnya masih bergulir saat ini," ujarnya.
KUHP Indonesia belum mengatur secara khusus tentang rekayasa kasus atau rekayasa bukti (fabricated evidence). Perbuatan yang tergolong sebagai mengalangi proses peradilan (obstruction of justice) bisa dalam bentuk menyampaikan bukti, keterangan palsu, atau mengarahkan saksi untuk memberikan keterangan palsu dalam proses peradilan.
Hukuman pelanggaran ini seharusnya diperberat apabila dilakukan oleh pejabat dalam menjalankan proses peradilan. Hukuman diperberat lagi apabila pejabat melakukan hal tersebut dengan tujuan agar seseorang yang tidak bersalah menjadi dinyatakan bersalah oleh pengadilan atau agar seseorang mendapatkan hukuman yang lebih berat dari yang seharusnya.
Rekomendasi ICJR dalam Kasus Brigadir J
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, ICJR merekomendasikan beberapa masukan dalam kasus pembunuhan berencana tersebut.
ICJR mendorong Kapolri melakukan proses pidana terhadap semua pelaku obstruction of justice yang terlibat dalam proses pengusutan kasus pembunuhan terhadap Brigadir Nofriyansah Yosua Hutabarat dengan sungguh-sungguh dan terbuka. Tidak hanya berhenti sampai pemberian sanksi etik semata apabila ditemukan adanya indikasi tindak pidana.
ICJR meminta Presiden dan DPR segera merancang mekanisme pengawasan yang lebih efektif dan independen terhadap proses penyidikan oleh polisi. Tujuannya, untuk mengantisipasi jika terjadi kasus-kasus yang melibatkan adanya konflik kepentingan dan relasi kuasa di tubuh kepolisian.
"Belajar dari kasus seperti pembunuhan Brigadir J, Kompolnas dan Propam tidak mampu untuk menjalankan fungsi pengawasan itu, perlu ada satu lembaga khusus yang diberikan kewenangan untuk menyidik dan menuntut pidana dan etik oknum kepolisian, seperti gabungan fungsi KPK dan KY. Namun berfokus pada pengawasan kepolisian, hal ini dikarenakan posisi sentral kepolisian dalam sistem hukum bahkan ketatanegaraan di Indonesia," katanya.
Dalam proses penyusunan RKUHP saat ini, perlu lebih tegas mengatur pasal-pasal pidana tentang obstruction of justice, termasuk memastikan adanya pidana untuk rekayasa kasus dan rekayasa bukti, hingga mengatur pemberatan hukuman khususnya bagi pelaku pejabat atau aparat penegak hukum.
Untuk mencegah kasus Brigadir J terulang, ICJR juga meminta Presiden dan DPR mendorong perubahan KUHAP untuk memastikan pengawasan dan kontrol yang lebih efektif terhadap kewenangan dan perilaku polisi dalam sistem peradilan. Khususnya, dalam melakukan fungsi penyidikan, perlu didorong penguatan peran kontrol dari Kejaksaan dan pengawasan dari pengadilan (judicial scrutiny).
Baca juga: Kematian Brigadir J, Budayawan: Pantas Diratapi Semua Orang Batak di Mana Pun