Gangguan psikologis, misalnya, dialami Bayu Tegar Prakoso, bocah enam tahun. Dia mengaku takut melihat air. Setiap kali melihat air yang mengalir pikirannya selalu kembali kepada musibah jebolnya Situ Gintung pada Jumat (27/3) dini hari. Bayangan kepiluan juga diperparah dengan meninggalnya beberapa anggota keluarga Bayu yakni bapak dan adiknya, Wito Senyoto dan Ririn Anggraini. Sementara ibunya, Meldi, kini harus terbaring lemah di rumah sakit.
Bukan cuma phobia, Bayu juga mengalami histeria saat tidur. "Sering mimpi air jebol," kata dia pada Tempo, Rabu (1/4), di Posko Pengungsian Fakultas Hukum UMJ. Ketakutannya itu pada akhirnya membuat dia sering mengalami gangguan tidur.
Kondisi serupa juga dialami Sabrina Desi Anggini, 4 tahun. Rohilah, ibu Sabrina, bercerita anaknya sering takut kalau dibawa melewati lokasi bencana. "Dia nangis nggak mau lewat dekat rumah," kata Rohilah pada Tempo. Ketika ditanya Tempo alasan ketakutannya, Sabrina menjawab polos takut kecebur ke dalam air. Padahal, lokasi bekas bencana kini tidak lagi terendam air.
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Seto Mulyadi, atau biasa disapa Kak Seto mengatakan, kondisi gangguan psikologis pascabencana sering dialami anak-anak. "Sebagaimana luka tubuh yang bisa menimbulkan cacat kalau tidak diobati, gangguan psikologis ini juga bisa jadi permanen bila tidak segera dilakukan pemulihan," kata Kak Seto, Rabu (1/4), di lokasi bencana. Untuk itu, pihak Komnas PA akan mendirikan Trauma Center bagi anak-anak hingga remaja berumur 18 tahun.
Pendirian Trauma Center akan mulai dilakukan mulai Jumat (3/4) ini. Kini, kata Kak Seto, pihaknya masih mencari lokasi yang pas untuk pendirian Trauma Center. Nantinya, Trauma Center akan ditangani para psikolog yang berasal dari Himpunan Psikolog Indonesia (HIMPSI), PMI, dan unsur psikologi lainnya, yang akan dikoordinasikan Komnas PA.
AMIRULLAH