Menurut Dwianto, pembayaran kepada warga terdampak dilakukan pada Oktober 2022 atau tepat di akhir masa kepemimpinan Gubernur Anies Baswedan. Dia juga membenarkan kalau pembayaran berasal dari Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) yang berada di bawah Kementerian PUPR. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta disebutnya memfasilitasi warga untuk mengurus pembayaran ganti untung.
Dwianto menuturkan bahwa pembayaran didahului persetujuan warga terhadap penetapan lokasi termutakhir yang diajukan pemerintah DKI. "Warga tidak menolak dengan adanya Proyek Sodetan Ciliwung namun pemerintah memang semestinya melakukan sesuai prosedur dan adil terhadap warga terdampak," katanya menerangkan.
Dia mengisahkan kembali bahwa benar pada awalnya warga menolak penggusuran karena hak atas lahan mereka sudah dimiliki resmi. Penolakan berpangkal kepada klaim DKI ada kepemilikan aset tanah di wilayah itu dan juga tanah milik seseorang bernama Hengky Saputra. Kedua belah pihak itulah yang digugat oleh warga melalui pengadilan sewindu lalu dan akhirnya dimenangkan oleh warga.
Alasan lain untuk melawan adalah luas lahan proyek inlet bertambah tanpa ada sosialisasi kepada warga. Dalam Surat Keputusan Gubernur Jakarta--era Jokowi--yang diterbitkan pada 16 Januari 2014 tertulis luas lahan yang akan dibebaskan 6.095,94 meter persegi. Tetapi, Surat Keputusan Gubernur Nomor 2779 Tahun 2015--era Ahok--disebutkan lahan yang akan dibebaskan untuk inlet Sodetan Ciliwung menuju KBT seluas 10.357 meter persegi.
Dari dokumen notula bertanggal 19 Mei 2021 yang TEMPO terima, tertera kesepakatan DKI era Anies dan warga Bidara Cina dicapai untuk rencana pembebasan lahan inlet tersebut. Luasannya malah bertambah menjadi 11.500 meter persegi. Pertimbangan saat itu adalah adanya hasil evaluasi perhitungan hidraulik, yang membuat posisi lahan inlet bergeser kurang lebih 100 meter ke arah hulu Kali Ciliwung.
Dwianto mengungkapkan warga bisa menerimanya dengan kompensasi ganti untung. "Alhamdulillah warga kami itu prinsipnya bisa beli rumah lagi, nggak neko-neko," tuturnya.
Pilihan Editor: KLHK Ungkap Sebab Polusi Udara Tangerang Selatan Terburuk di Indonesia