TEMPO.CO, Jakarta - Direktorat Jenderal (Dirjen) Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Sigit Reliantoro menyampaikan memburuknya kualitas udara di Tangerang Selatan beberapa hari belakangan memiliki pola yang sama dengan Jakarta, yaitu dihasilkan dari emisi kendaraan.
"Sepertinya polanya sama dengan Jakarta," kata Sigit saat ditemui di Kantor Kementerian LHK, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Ahad, 13 Agustus 2023.
Baca juga:
Sigit memgatakan untuk mengetahui besaran angka atau persentase dari kontribusi gas buangan, termasuk dari sektor industri hingga menyebabkan polusi udara, pihaknya perlu melakukan inventarisasi atau studi.
"Kita perlu melakukan inventarisasi seperti yang dilakukan di Jakarta karena studi tadi memang dilakukan di DKI. Kita sepakat dengan Jabodetabek untuk menyamakan sistem inventarisasinya, untuk tahu betul kontribusi industri berapa, dari transportasi berapa," ujarnya.
Sebelumnya, Piotr Jakubowski, Co-founder & CGO Nafas mengatakan pada Juli polusi udara kembali naik dan lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya. "Melihat buruknya kualitas udara, diperkirakan jumlah orang dewasa dan anak yang masuk rumah sakit juga meningkat,” ujarnya.
Data Nafas berasal dari low cost sensor yang tersebar di lebih dari 180 titik lokasi dan merepresentasikan cakupan wilayah 1-2 kilometer dari lokasi sensor terpasang. Data kualitas udara yang diterima secara real time dan bisa diakses di aplikasi Nafas.
Alat sensor melakukan pengukuran berdasarkan partikel PM2.5 berukuran 2,5 mikrometer dan berdasarkan standar WHO. Pengukuran dalam satuan µg/m3. PM2.5 adalah partikel padat polusi udara berukuran kurang dari 2,5 mikrometer atau 36x lebih kecil dari diameter sebutir pasir.
Berdasarkan tingkat polusi PM 2,5 tertinggi pada Juli 2023, posisi kota dengan polusi teratas adalah Tangerang Selatan dengan tingkat polusi 60 µg/m3 dan menjadi satu-satunya kota di kategori tidak sehat.
Selanjutnya, Bekasi (55 µg/m3), Bogor (53µg/m3), Tangerang (52µg/m3), Depok (51µg/m3), DKI Jakarta (47µg/m3), Bandung Raya (44 µg/m3), Semarang (40µg/m3), Surabaya (38µg/m3), Yogyakarta (31 µg/m3), Malang (30 µg/m3), Kep. Seribu (20 µg/m3), Bali (15 µg/m3) dan Belitung (14 µg/m3). Sedangkan, pedoman WHO pada 5 µg/m3.
Meskipun demikian, Sigit mengatakan Pemerintah Kota atau Pemkot bisa melakukan intervensi.
Kementerian LHK menyarankan agar memberlakukan uji emisi guna memastikan masyarakat untuk taat terhadap baku mutu.
"Potensinya kan gede tadi, baru kemudian didorong untuk pindah ke transportasi umum sama sepertinya, itu mungkin yang di DKI, kajian DKI juga berlaku sama untuk semua daerah penyangganya," kata dia.
Pilihan Editor: Heru Budi Sebut Udara Jakarta Membaik saat Akhir Pekan, Faktanya?