TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Dinas Pendidikan Jawa Barat Wahyu Mijaya angkat bicara mengenai sumbangan pendidikan yang diduga besarannya telah ditetapkan di SMA dan SMK Negeri di Depok
Ia menerangkan anggaran pendidikan dalam ketentuan di Jawa Barat diatur dalam peraturan gubernur, yakni Pergub Nomor 97 Tahun 2022.
"Di situ disampaikan bahwa pembiayaan pendidikan itu bisa dilakukan salah satu sumbernya dari sumbangan," kata Wahyu saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon, Kamis, 14 September 2023.
Adapun sumbangan itu bisa dilakukan oleh pihak ketiga, seperti dari industri, perusahan-perusahan dan juga dari orang tua, sumbangan ini juga diatur mekanismenya.
"Bagaimana sekolah mendapatkan sumbangan dari pihak ketiga termasuk dari orang tua, jadi selama diikuti maka bisa dilakukan," papar Wahyu.
Namun, ia menegaskan sifatnya bantuan pendidikan dari pihak ketiga, termasuk orang tua siswa sifatnya sumbangan dan besarannya tidak ditentukan.
Ia mencontohkan, sekolah memiliki Rancangan Kegiatan Anggaran Sekolah (RKAS) dan sumber dananya dari dana bantuan operasional sekolah (BOS), biaya operasional pendidikan daerah (BOPD) atau dari sumbangan pihak ketiga, di sana diketahui berapa gap antara rencana penerimaan dan rencana pengeluaran.
"Kemudian, dari situ bisa terlihat kekurangannya berapa, kekurangannya itu dicari dari sumbangan pihak ketiga," terangnya.
Wahyu menerangkan, jika dirata-rata dari BOS untuk SMA tiap siswa Rp1,5 juta per tahun dan SMA tiap siswa Rp1,6 juta per tahun.
Kemudian, dari BOPD dari Jabar untuk tahun 2023 tidak dihitung per siswa, tetapi dibayar sesuai basic kebutuhannya lebih dulu, misalnya gaji guru non PNS.
"Kita yakinkan itu semuanya terbayar, nah itu yang kita prioritaskan dari BOPD, per sekolah beda-beda, karena guru non ASN per sekolah tidak sama (jumlahnya)," katanya.
Selanjutnya, untuk fix cost sekolah, seperti bayar listrik, air dan internet untuk seluruh sekolah negeri di Jabar.
"Kalau misalnya di sana ada belanja untuk kertas, spidol, kapur dan lainnya, kemudian untuk kebersihan dan pemeliharaan, nah itu juga diambil dari BOS pusat," ujarnya.
"Selanjutnya lagi, berapa jumlah kekurangan dari semua rencana, termasuk kalau di SMK kan ada praktik industri, pengembangan siswa dan lain-lain, di situ kemungkinan terjadi gap-nya, jadi pada saat kita membayarkan hal-hal yang fix cost-nya dulu, tetapi untuk yang lain-lain belum tentu bisa terbayarkan, nah itu lah yang bisa jadi sekolah memohonkan sumbangan dari pihak ketiga," imbuhnya.
Ditanya terkait anggaran ideal per siswa, Wahyu mengaku masih agak rumit karena banyak faktor, misalnya SMK keahlian tertentu berbeda dengan keahlian yang lain, sebab alat praktik berbeda dan lainnya.
"Kebutuhan di satu tempat, misalnya di Depok bisa jadi berbeda dengan kebutuhan di Banjar, jadi memang ada beberapa variasi penghitungan kalau kita mau menghitung secara riil kebutuhannya," terangnya.
Ditanya terkait kekurangan anggaran per siswa atau sekolah setelah mendapat dana BOS dan BOPD, Wahyu belum bisa menyampaikan angka pastinya.
"Kami harus menghitung kekurangan-kekurangan itu berdasarkan kebutuhan sekolah, sehingga kami belum bisa menyampaikan, misalnya kekurangannya berapa persen dari BOPD dan BOS," paparnya.
Ia mengungkapkan pihaknya sudah mencoba menghitung dari survei internal perkiraan kebutuhan untuk SMA, SMK dan SLB.
"Tapi ini juga masih dikaji lebih lanjut, dihitung lebih lanjut sehingga bisa mendapat nilai yang lebih pas untuk di SMA, SMK dan SLB," kata Wahyu.
Namun, yang lebih penting saat ini pada prinsipnya adalah sekolah jika berdasarkan hitung-hitungan alokasi dari dana BOS dan BOPD ada kekurangan, masih diperkenankan secara ketentuan melalui sumbangan.
"Tetapi tidak ditetapkan besarannya, tidak dipaksakan, kemudian tidak terus menerus, itu yang paling penting saat ini dulu untuk yang kejadian-kejadian, contoh di SMKN 1 Depok atau sekolah-sekolah lain," ucap Wahyu.
Pilihan Editor: Dugaan Pungli di Depok, Murid SMAN dan SMKN Diminta Uang Hingga Rp2 Juta